Sang Terpilih vs Sang Pemilih

Start from the beginning
                                    

Karena The Chosen One itu menghemat halaman di satu buku.

Tinggal bilang: "Nak, hanya kau yang bisa menyelamatkan dunia!", udah deh, pembentukan motivasi sebentar, bertarung dan meyakinkan sang protagonis, lalu langsung nyambung ke latihan bertubi-tubi untuk jadi The Chosen One sejati. Kadang dipenuhi petualangan magis yang lucu dan waw sekali.

Akibatnya, oke, emang di satu buku kisah dia tipis banget. Tapi meluber ke vume-volume selanjutnya yang biasanya tambah tebel (<--ini sih hukum tak terbantahkan di fiksi ya, makin tua makin tebel kisahnya. Haha)

Makanya, stereotip The Chosen One ocok buat anak-anak dan remaja muda yang nggak bisa lihat buku tebel atau mau kenalan sama buku dan pengen petualangan seru. 

-

Beda halnya dengan The Moved One

Tokoh yang digerakkan oleh motivasi kuat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tokoh yang digerakkan oleh motivasi kuat. Bukan berarti lolos dari stereotip The Chosen One. Malahan, di beberapa novel best seller, sub-plot The Chosen One dipakai untuk memperkuat motivasi tokoh, bahwa karakter ternyata diramalkan sebelumnya bakal menggulingkan sebuah tirani raksasa. Tapi di lapangan, The Moved One peduli setan sama semua ramalan itu. Dia cuma melakukan apa yang menurut dia benar. Apa yang jadi tujuannya. Dia fokus ke sana. Dan di beberapa novel, dia bahkan bukan The Chosen One sama sekali. Dia malah harus ngelawan The Chosen One beneran.

Tapi yah, di kenyataan, nggak ada yang bener-bener murni The Moved One atau The Chosen One. Adanya salah satu stereotip yang mendominasi.

The Chosen One pun ada yang digerakkan motivasi lebih dulu.

The Moved One ada yang digerakkan oleh kekuatan mereka yang overpower atau biasanya penyintas dari klan mereka yang udah punah atau emang satu-satunya yang punya kekuatan lebih dari semua orang buat melawan.

-

Q: Terus, kakak nggak suka The Chosen One?

Suka. Apalagi dulu pas masih anak-anak. Cuma kalau sekarang, saya lihat-lihat dulu. Jika bukunya memang untuk segmentasi maksimal Middle-Grade, saya masih oke. Tapi kalau YA apalagi NA pake stereotip The Chosen One, yah ... saya cuma berdoa, semoga itu karena penulis punya pesan moral lain yang lebih besar yang ingin disampaikan di sepanjang cerita, bukan sekadar motivasi yang mendorong protagonis. 

Dan moga-moga bukunya nggak meluber ke mana-mana. Dan semoga, amanat apa pun yang hendak disampaikan, tidak berujung menggurui pembaca. 

Kembali ke stereotip The Chosen One, kenapa saya anggap segmentasi YA dan NA nggak cocok pakai stereotip ini sebagai roda gigi utama cerita?

Stereotip The Chosen One selalu membuat pembaca berpikir, "Oh, cuma dia nih yang bisa nolong!" dan stereotip ini emang berguna untuk menumbuhkan sifat heroisme dalam diri anak-anak. Bahwa pahlawan itu ada dan bisa dari mana aja. Yah, cuma jelasin kekuatan supernya itu gimana gitu loh.

JURNAL KREATIFWhere stories live. Discover now