Tigabelas

5 1 0
                                    

Sudah lebih dari setengah jam kami menunggu di pinggir jalan, kendaraan umum yang akan mengantarkan kami ke pusat kota, daripada menghubungi taksi, Ciero memutuskan untuk memakai kendaraan umum. Bagaimana pun ia lebih berpengalaman disini.

Setelah beberapa batang rokok, juga beberapa jepretan tidak jelas ke lingkungan sekitar tempat kami menunggu, setelah beberapa kendaraan yang kata Ciero adalah kendaraan yang kita tunggu-tunggu tapi tidak mau berhenti sepertinya karena sudah penuh penumpang, untuk ke beberapa kali akhirnya ada juga yang mau berhenti di hadapan kami.

Kendaraan umum disini memakai jenis mobil terbaru dari negeri Korea, memiliki pintu geser dan muat untuk delapan sampai sepuluh orang. Kami pun masuk ke dalamnya segera. Semua mata tertuju kepada kami yang tentu saja memiliki wajah yang tak biasa untuk penduduk lokal kota ini.

Beberapa kali berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, melintasi perbukitan dan pemandangan eksotis di sepanjang tepian perjalanan kami, ada beberapa hal menarik yang aku perhatikan.

"Kenapa banyak seperti rumah yang ditinggalkan begitu saja aku lihat, sidi?" Tanya ku kepada Cero.

Aku juga sudah mulai memanggilnya dengan panggilan sidi.

"Di Maroko sini rakyatnya diperbolehkan membangun rumah di tanah yang tak digunakan tanpa harus ada ijin atau pun sertifikat tanah. Kebanyakan bangunan dibuat dari tanah-tanah liat yang dicampur dengan batu-batuan serta rumput jerami yang mudah di dapatkan di sekitar mereka saja. Sehingga kalau mereka membangun rumah tidak perlu membeli dan kalau mereka mau tinggalkan, mereka akan tinggalkan begitu saja tanpa proses hendak menjualnya." Jawab Cero panjang lebar.

"Oh begitu?! Kalau begitu kita bisa juga dong punya tanah serta rumah di kota ini?" Tanya ku lagi.

"Nah, aturan itu berlaku hanya untuk rakyat Maroko saja, orang luar macam kita tetap harus pakai ijin atau surat menyurat," Tambah Cero.

"Oohh...." Sahut ku sambil mengangguk-ngangguk paham.

Lima belas menit kemudian kami sampai di pusat kota. Ramai, tapi tidak lah seramai di kota besar, ini kota kecil, tidak ada bangunan tinggi menjulang disini, ku perhatikan bangunan-bangunan berjejejer rapat di sekitar kota ini seperti dibangun dari jaman yang sangat lampau sekali. Entah lah.

Kami berhenti di titik yang sepertinya terminal semua kendaraan umum dari seluruh pelosok kota berkumpul.

Sang supir yang mengetahui kami adalah orang asing dan tidak saling mengerti ucapan masing-masing, memberi tanda lima jari lalu memilih salah satu koin yang kami miliki dari telapak tangan ku, yang ia ambil adalah koin lima dirham.

Dari terminal tersebut, kami melangkah menuju area yang sepertinya untuk tempat nongkrong orang kota ini, banyak kafe-kafe kecil berjejer di area ini. Kami semua masih baru saja makan sarapan sehingga kami pun memilih untuk duduk di sebuah kafe di pinggir jalan besar sambil memesan kopi saja.

Cuaca begitu terang benderang, panas matahari begitu terik, namun sungguh hawa nya tidak terlalu panas, malah agak sejuk.

Sambil duduk dan ngopi, kami memperhatikan apa yang terjadi di sekitar kawasan kota kecil ini. Wajah-wajah yang keliwat asing, kebanyakan orang tua malah, jarang ku lihat anak muda. Ada yang berwajah arab, ada juga yang berkulit hitam gelap seperti Achbar supir taksi kami dari Casablanca kemarin. Mereka rata-rata memakai jubah lebar yang memiliki tudung yang mereka pakai untuk menutupi kepala mereka dari panas matahari. Jubah itu disebut 'Jelabah'. Aku pernah melihat Arya memakainya di suatu hari di Zawiyya.

Perempuan nya rata-rata memakai jubah lebar dan penutup wajah yang hanya menampakkan mata, salah satu perempuan tersebut, lanjut usia menghampiri kami sambil membawa anak kecil satu disamping dan satu di dalam gendongannya, perempuan itu berkata-kata yang tidak kami mengerti dengan nada memelas, perempuan tua itu membuka telapak tangannya untuk meminta-minta.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 23, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Fukara ChronicleWhere stories live. Discover now