Tujuh

9 2 3
                                    


"Dunia ini dikuasai oleh 'Bankster'" Ujar Arya di awal diskurusnya.

Ini Kamis malam kesekian yang aku hadari, aku sudah menjadi bagian dari kelompok kajian ini dan aku sudah mulai terbiasa dengan kata-kata yang terdengar bombastis, sufer pantastis, maupun yang over dramatis yang sering digaung-gaungkan oleh Arya dan para fukara lainnya.

"Negara kita, serta negara-negara lainnya di kuasai oleh mereka. Melalui pinjaman hutang berbunga kepada semua negara yang ada di dunia yang tidak ada habis-habisnya, Melalui pajak kepada rakyat untuk alasan membayar hutang luar negeri tersebut. Melalui uang kertas tak berharga yang dicetak oleh pihak 'Bankster' yang ditukarnya dengan kekayaan-kekayaan alam kita, Emas, Perak, Kayu, Tanah, Gas, ditukar dengan pinjaman hutang dalam bentuk kertas nota yang disebut 'uang' padahal sejatinya bukan lah uang. Itu sihir! Sehingga, kita diperbudak oleh mereka untuk membayar hutang, membayar pajak dan dibayar dengan uang yang semakin lama semakin tidak berharga karena semakin merosot nilainya.

Okay, aku tahu semua yang mendengar ini akan terpana atau setidaknya mulutnya ternganga-nganga. Aku tahu semua itu terdengar gila, sangat teramat gila. Tapi mau bagaimana lagi, orang yang mengucapkan hal gila tersebut adalah orang yang memegang kunci keselamatan untuk diriku di saat-saat menyedihkan seperti saat ini.

"Aku ada beberapa proyek dari pemerintah yang aku berharap diri mu mau ikut bergabung di dalamnya, Ndre." Ia menawarkan ku kemarin, sebuah kesempatan. Tanpa perlu ia jelaskan panjang lebar pun aku paham akan aturan mainnya. Ia ingin aku berinvestasi atau kalau aku tidak punya kapital untuk itu, aku tinggal mencari investor.

Itu lah yang sedang aku lakukan dan usahakan.

Di luar itu, aku sudah menawarkan bisnis-bisnis investasi yang ku anggap menarik tapi sepertinya ia tidak tertarik.

"Terlalu kecil Ndre, sementara potensi anggaran proyek pemerintahan yang akan kita kelola sekitar 400 Miliyar rupiah," Katanya.

'Holy shit!!' Ku pikir waktu itu mendengarnya, apa tidak salah?? Dapat 10% dari anggaran itu saja maka api neraka yang membakar ku saat ini akan mudah dipadamkan.

Tidak ada yang mengejar-ngejar hutang, tidak ada ancaman jeruji penjara, tidak ada!

Makanya ketika saat ini atau saat-saat sebelumnya aku mendengar dari mulutnya soal kapitalisme, ribawi, muamalah dan bla bla bla lainnya, atau apa pun itu, aku tidak akan mau membantah, tidak akan.

Setelah berpanjang lebar mendengar diskursus Arya yang mungkin untuk sebagian orang yang tidak waras akan membuka pikiran dan menggugah hati, setelah wirid dan diwan, sajian makan malam pun dihidangkan.

Penyajiannya unik, satu piring besar dengan nasi serta lauk pauk yang ditumpuk di atasnya disajikan untuk empat orang. Ini disebut 'saprah'. Tradisi yang asing bagi ku, dan agak-agak merasa ragu makan satu piring dengan orang lain. Bahkan dengan isteri dan anak-anak ku pun belum pernah ku melakukannya. Tapi what the hell, apa pun lah, ku makan juga.

"Bismillah," Seru Arya kepada semua orang di ruangan untuk memberi aba-aba untuk semuanya memulai makan hidangan yang disajikan.

Aku duduk satu meja dengan Arya, Sidi Nizam dan Habieb Nor.

"Ada cerita di Amerika sana, ada sepasang suami isteri yang berasal dari Pakistan makan dengan cara seperti ini lalu menjadi perhatian sepasang suami isteri orang kulit putih lalu mereka penasaran dan bertanya kepada pasangan dari Pakistan tersebut. Pasangan dari Pakistan itu kemudian menyuruh pasangan kulit putih itu untuk mempraktekkannya juga dan menyuruh pihak suami untuk sambil menyuapi isterinya, lalu barulah pasangan kulit putih itu mengerti apa hikmah dibalik makan satu piring ini, bahkan mereka menitiskan air mata karena ketika sang suami menyuapkan makanan kepada isteri terasa sekali kemesraan ayng sudah lama tidak pernah mereka lakukan bersama." Cerita Sidi Nizam penuh semangat sambil menggigit potongan ayam panggang dari atas tumpukan nasi yang tinggal sedikit.

Fukara ChronicleDonde viven las historias. Descúbrelo ahora