Lima

7 2 0
                                    


Begitu turun dari pesawat dan masuk ke dalam shuttle bus, ada fenomena yang menarik bagi ku. Hampir semua penumpang yang satu bus dengan kami, bermata sipit dan berkulit putih, mereka terdengar sangat heboh. Dan bahasa yang digunakan pun walaupun sama sekali tak ku pahami tapi ku kenal, bahasa yang sering ku dengar di pasar-pasar apabila orang 'Kek atau Tiochiu bicara satu sama lain. Antara bahasa mandarin, atau kanton antara keduanya, tebakan ku mereka semua berasal dari Cina daratan, ku tanyakan itu kepada Arya, yang hanya mengangkat bahu pertanda tidak tahu.

"Sama seperti kita, orang Tiongkok bebas visa di negeri ini, untuk tujuan menaik wisatawan mungkin." Terang Arya.

"Oh ya? Sepertinya invasi perekonomian mereka sudah sampai ke negeri ini ya?"

"Jangan salah, sidi. Mereka berani jor-joran meminjamkan uang kepada negara-negara dunia ketiga. Bahkan di Zambia, bandar udaranya sudah dimiliki oleh perusahaan China."

"Benarkah begitu??!" Aku terkejut.

Arya hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Jangan salah juga sidi, bukan China yang sebenarnya memiliki kekuasaan atas negara-negara itu. Tentu saja kau sudah mengetahuinya dari buku yang ku pinjamkan, kan?" Tanya Arya.

Giliran aku yang kini mengangguk, walau sebenarnya tentu saja aku masih belum membacanya sama sekali!

Tapi sudah hampir setengah tahun aku kembali bergaul dengannya, dalam percakapan-percakapan yang tidak penting, banyak membahas dan membahas perkara ini, entah demi apa.

Jadi aku sudah sedikit mengerti. Sedikit.

"Cina, negara kita, bahkan Amerika hanya boneka saja, yang berkuasa sebenarnya tentu saja Bankster" Terangnya lagi.

Jangan tanya aku apa lagi jenis makhluk yang bernama 'Bankster' tersebut, kan ku jelaskan pun hanya akan membuat siapa pun yang mendengarnya akan kebosanan, percayalah, itu yang ku rasakan.

Sesampainya di gedung bandar udara, di salah satu terminalnya, kami harus mengisi kertas formulir administrasi sebagai orang asing yang masuk ke negara ini. Tidak sulit, hanya memasukkan nama, asal negara, alamat tujuan dan alasan datang ke negara ini, kami sepakat pilih 'tourism' sebagai alasannya.

Sehabis itu kami harus antri cukup lama di bagian custom. Untuk hal ini yang ku lihat sungguh tidak berbeda dengan negara kita, apa itu? Ketidakdisiplinannya.

Berapa kali banyak orang-orang yang sepertinya berasal dari negara ini sendiri mendesak dan menyerobot antrian yang tentu saja lumayan mengganggu.

Tidak lupa ada drama yang lumayan menghilangkan rasa jenuh di antrian, antara seorang perempuan berhijab dengan seorang perempuan yang tidak. Keduanya sepertinya berasal dari negara ini juga. Perempuan berhijab sepertinya tidak menyukai penampilan perempuan satunya yang tidak memakai penutup kepala dan berdandan ala sosialita.

Hal ini tidak pernah ku temukan di negara kita, ada seseorang yang berani menegur seseorang karena cara berpakaiannya di tempat umum.

Sekuriti sampai harus menengahi percekcokan tidak penting antara mereka berdua. Lumayan untuk tontonan.

Setelah menunggu dan mengambil bagasi kami yang tidak seberapa, Aku dan Arya langsung menuju ke money changer yang ada di bandara untuk menukarkan uang kami, tentu saja.

Satu dirham (nama mata uang) Maroko setara 0,10 Dollar Amerika. Setara juga dengan sekitar 1500 perak uang kita.

Mata uang kita memang salah satu yang terendah di dunia.

"Mudah-mudahan cukup untuk dua minggu kita disini, Sidi," Ujar Arya.

Aku juga menukar sejumlah rupiah yang ku bawa, di dapat dari beberapa orang yang ku sebut sebagai investor potensial di kota kami, ku gaungkan aku sedang melakukan pendekatan bisnis dengan Arya, yang di kenal sebagai pengusaha muda yang sukses dan kaya. Mereka percaya, sehingga aku mendapatkan pinjaman cukup besar untuk uang saku perjalanan ini.

Selesai itu kami menuju salah satu counter di bandara udara yang menjual kartu smartphone. Kami harus mengganti kartu kami ke kartu dengan provider lokal, itu cara yang jauh lebih murah karena tidak ada roaming internasionalnya.

Begitu bisa dipakai, Arya pun langsung menghubungi seseorang yang sudah janji temu akan menjemput kami di bandara ini, orang Indonesia juga.

Sambil menunggu, Arya mengajak ku untuk lekas keluar dari gedung. Alasan biasa, mulutnya sudah terlalu asam.

Begitu keluar dari gerbang terminal kedatangan, ia pun tidak buang waktu memantik dan menyalakan rokok, menghisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya dengan lega.

"Argghh...Nikmat sekali....."

Fukara ChronicleWhere stories live. Discover now