Delapan

3 1 0
                                    

"Bangun sidi," Suara Cero membangunkan sambil ia menepuk-nepuk bahu ku.

"Sudah sampaikah kita?" Tanya ku, ku lihat di luar mobil gelap sekali, entah sudah jam berapa.

"Belum, masih dua jam perjalanan lagi, kita sekarang di pegunungan Atlas, singgah dulu kita, makan." Terang Cero sembari keluar dari mobil.

Aku pun sedikit banyak menyadari tadi di antara tidur yang ku paksakan kami sedang berada di sebuah gunung, terasa sekali jalan naik turun dan kelak keloknya ayng lumayan membuat perut mu sedikit hendak memuntahkan isinya, namun berhasil ku tahan.

"Dimana Arya?" Tanya ku lagi.

"Langsung ke toilet tadi, kebelet."

Cuaca sungguh celakanya dingin sekali. Berbeda sekali dengan cuaca siang tadi yang terik panas hingga kami harus membuka jendela mobil lebar-lebar.

Ku lihat Achbar sudah menunggu di depan salah satu yang sepertinya restoran disini, yang memang untuk para pelancong yang melakukan perjalanan jauh.

Asap embun mengepul dari mulut kami setiap bernafas, dingin sekali. Ku lihat jam di Smartphone ku menunjukkan pukul 12 lewat tengah malam.

Kami pun duduk di salah satu meja lesehan, dan salah satu pelayannya dengan sigap menyerahkan kertas menu yang demi Tuhan tidak satupun kami semua, kecuali Achbar tentu saja, mengerti. Semua berbahasa Perancis.

Dengan bantuan Achbar dan google translate kami pun mendapat sedikit titik terang,

"Aku pesan Tagine dengan daging domba" Ujar Cero dengan bahasa inggris patah-patah, percuma pakai grammar yang baik, Achbar dan pelayan itu tidak akan paham.

"Saya pesan yang ini saja," Tunjuk ku terhadap salah satu menu sembarangan saja.

Tidak lama kemudian Arya kembali dari toilet dan menyusul meja kami.

"Kalian sudah pesan semua?" Tanya nya.

"Iya, tinggal kamu, sidi. Mau pesan apa?" Tanya Cero balik ke Arya.

"Abang pesan apa?"

"Tagine, Sidi"

"Oh ya udah itu saja," Jawab Arya.

"Apa itu Tagine, bang?" Tanya ku penasaran.

"Semacam....Mmm...Nanti kau lihat sendiri lah, makanan khas disini." Ujar Cero malas hendak menjelaskan.

Selagi menunggu sajian dimasak dan dihidangkan, kami pun tentu saja lebih sibuk dengan smartphone masing-masing, melihat situasi terakhir di dunia maya.

'KADER PARTAI TUNTUT ARYA MUNDUR'

Ku baca salah satu headline koran elektronik kota kami yang di bagikan salah seorang di dinding Facebook.

Ku hembuskan nafas panjang, ia memang tidak pernah gamblang menceritakan pada ku, Tapi Arya memang saat ini di partainya sedang berada di posisi di ujung tanduk. Rumour yang beredar banyak yang ingin menyingkirkannya menjadi ketua partai yang sudah ia duduki selama delapan tahun.

Keheningan begitu lama hinggap di antara kami, tiga orang yang asing dalam satu perjalanan, empat di tambah Achbar, apalagi dia, yang tidak bisa di ajak bicara.

Satu pengacara dari ibukota, satu pengusaha muda, dan satunya lagi orang yang pura-pura kaya dan sedang dihantui jeruji penjara.

"Sudah berapa lama jadi pengacara, Bang?" Tanya ku memecah kesunyian, tidak enak juga diam-diaman.

"Ha?" Ia agak bingung ketika ditanya ketika sedang asyik dengan smartphone-nya. "Empat belas tahun, sidi,"

"Wah sudah lama juga yah. Pengacara pasti banyak duitnya, Apalagi pengacara ibukota" Sambung ku.

Fukara ChronicleWhere stories live. Discover now