Epilog

10.6K 507 162
                                    

Thank you so much yang sudah menanti epilog ini meskipun lama. Maaf, kalau hasilnya di luar ekspektasi kalian. I tried my best.




Dua belas bulan berlalu senjak Pavel memutuskan untuk menerima tawaran sebuah club basket di Singapura untuk mengisi kekosongan slot pemain asing mereka. Dua belas bulan pula Pavel melakoni hidupnya dengan usaha penuh untuk melupakan masa lalunya. Melupakan tentang luka yang pernah seseorang toreh dalam di lubuk hatinya. Meski tak dipungkiri usaha kerasnya tak berbuah maksimal.

Kadang tatkala malam menjalar memenuhi sekitar Pavel dengan keheningan, hatinya memberontak. Masa lalu yang pernah dia kecap bersama 'mantan' istrinya terlintas berputar bagai adegan film acak dalam otaknya.

Satu hal yang juga tak bisa begitu saja meninggalkannya. Rindu. Pavel sebisa mungkin mengemas rindunya pada Dome dan sang bayi dengan bungkus wajah baik-baik saja dan bonus ribuan kali senyuman palsu.

Pavel ingin kembali, tapi hatinya tidak berani ambil resiko. Dia takut. Takut menghadapi keadaan dimana Dome dan sang bayi sudah bahagia bersama orang yang memang seharusnya menyanding mereka.

Setahun berjalan tanpa kembali ke Thailand, Pavel hanya menghubungi nenek, Tee, Tae dan sang keponakan Bass lewat chatnya pada si kakak sepupu. Sedangkan teman-temannya, hanya nomor Ben saja yang dipertahankan.

Ben murka pada awalnya. Dia tak terima Pavel meninggalkan Dome begitu saja. Tapi setelah Pavel menelfonnya, menceritakan semua dari sudut pandangnya dengan muka merah banjir air mata, Ben kalah. Bahkan sampai berjanji akan menutup mulutnya atas keberadaan Pavel pada siapapun. Tanpa kecuali.


....


"Hei, wajahmu kenapa murung?" William, atau Will rekan satu club Pavel asal Singapura menghampiri Pavel yang duduk diam di bangku pemain selepas latihan.

Pavel menoleh. Tersenyum paksa. Lagi. "Tidak. Aku baik-baik saja."

Tawa remeh dilontarkan Will. "You can't lie to me, bro. Bahkan sejak awal musim kau bermain di sini aku sudah sering melihatmu melamun begitu. Kalau ada masalah cerita saja. Mungkin kau butuh berbagi."

Pavel bersyukur dia dikelilingi orang-orang baik disini. Meski hatinya tak lagi bisa percaya pada seseorang begitu saja semenjak dikecewakan.

"Apa benar kontrakku akan diputus akhir musim ini?" Pavel menatap lurus pada pria berwajah oriental di sampingnya.

Will mengerjapkan mata bingung. "I don't know. But I think, maybe."

"Kau tahu kan club kita baru saja kehilangan satu sponsor. Pasti berat untuk mereka membayar pemain asing sekelasmu lagi." Tambah Will.

Pavel mengangguk. Dia juga paham akan hal itu. Dia tak bisa egois kan?

Satu pertimbangan lagi untuknya pulang. Setelah dua minggu lalu Na menghubunginya di direct message twitter tentang tawaran kembali lewat project sebuah film. Ini film, bukan lagi FTV atau sinetron biasa. Haruskah Pavel mempertimbangkan lagi keputusannya? Apa hatinya siap?

....



Kurang lebih satu minggu setelah kontraknya berhenti di club basket yang telah dibelanya dalam semusim penuh, di sinilah Pavel sekarang. Melangkah dengan menyeret koper di tangan kiri dan tas gendong di punggungnya menyusuri gate kedatangan luar negri bandara Suvarnabhumi.

Masih ada ragu menggelayut ketika kakinya menapaki kembali tanah kelahirannya ini. Hatinya tak siap. Tapi dia tak mau larut dalam perannya sebagai pecundang. Dia ingin bangkit. Meski harus tertatih.

Pagi mulai menyentuh siang. Pavel memandang langit kota Bangkok yang tersaji lewat dinding kaca di tepian ruang. Masih tak menyangka jika akhirnya keputusannya berakhir pada pilihan terakhir untuk kembali.

0,01 % (PavelDome)Where stories live. Discover now