4

25 7 7
                                    

Di atas Rooftop sebuah gedung kantor kepolisian di Jakarta.

"Kau berjanji padaku, apa yang aku lakukan, informasi apa yang aku bawa, kau tak akan gentar," tegas paman Rio padaku.

Angin yang sedari tadi silih berganti membentur tubuhku, menyibak rambut memecah nyenyat, berusaha membuat ramai rooftop yang hanya terisi aku dan pria dengan pakaian necis itu.

Aku memutar arah dia pun mengkuti, sekarang posisinya berhadapan denganku, mataku secara spontan membidik pupil matanya,"Ya, aku tak akan melempar janji, aku memang harus siap, dan kenyataannya memang seperti i-tu," aku menunduk, air mataku tak tertahankan, mengapa? Kepalan yang sedari tadi aku tahan, kini semakin menguat, "Benartah dendam lebih berbahaya dari belati, Paman," ucapku, aku kembali mengarahkan pandanganku padanya, berusaha tegap meski bumi merayu menghisap tubuhku.

"Kau harus kuat, esok kita akan mengikuti inspeksi," tutur paman Rio.

"Iya, Paman, setelah aku menemukan ingatan yang hilang, aku langsung menduga, dia, dia pelakunya,"

***

Malam menjelang, aku masih termenung di kamar. Aku masih mengingat-ingat kejadian satu hari di mana obat jadi racun, ceria menjadi sengsara.

Malam itu, mama tengah menceritakan sebuah dongeng. Kemudian mama beranjak dari kasurku, menyisakan hawa hangat . puncak kepalaku dielusnya, dikecupnya, aku menutup mata.

Hari pun berganti. Aku bangkit dari tempat tidur, serta-merta mencari orang yang semalam masih bersamaku. Kudapati mama sudah tak ada dimana pun. Berlarian ke sana ke mari, mencari sambil menahan risau. Saat aku buka pintu rumah, cahaya memanjangkan sinarnya. Menyusup, menembus karpet, menunjukkan ada noda di karpet. Berkali-kali sampai aku bisa menerima pesan dari noda yang masih basah itu, aroma yang menyeruak ke hidung adalah darah yang tak sengaja tumpah. Sejadi-jadinya tangis aku buat kala itu.

*

Di tempat lain, di suatu apartemen, seseorang sedang termenung, badanya sudah merebah ke ranjang, akan tetapi matanya tak dapat memejam, ia masih terjaga.

"Rio, kau rentan pada wanita, ya, kukira kau pilah-pilih, lucunya," tutur seseorang yang telah lama disisinya, kini hilang.

"Rio, kau janji akan menjaga anakku jika terjadi apa-apa padaku?"

Kau tahu Lisa, tak ada yang lebih aku nanti, tak ada tempat aku bisa kembali selain dirimu, jikalau kau berucap demikian, ya, memang seperti ini aku, tak bisa mencari pengganti hati, karena dirimu, Lisa. Apakah kau baik-baik saja? Lisa.

***

Pagi hari yang sibuk, pasukan dalam satuan peleton berkumpul. Semuanya tengah berbaris, berdiri dengan tegap dan seragam lengkap. seseorang berdiri di depan barisan tersebut, memberi instruksi, dengan waktu singkat masing-masing anggota regu langsung bersiap diri setelah memahami apa yang dikatakan oleh komandan peleton tadi. Setiap mobil ditumpangi oleh satu regu, aku bergabung dengan mobil yang dikomando oleh paman Rio.

"Dengar, target kita, bekukan semua yang ada di tempat itu tanpa bekas, mengerti!" tegas paman Rio.

"Siap 8-6." Serentak anggota regu berkata.

Regu yang dikomando oleh paman Ben telah melesat lebih dulu, paman Rio sebelumnya memberi saran untuk tidak memakai mobil patroli, dan hanya memakai mobil elf atau mobil pribadi. Namun, hanya kelompok paman Ben dan paman Rio saja yang tidak menggunakan mobil patroli, bersama aku di dalamnya. Aku tahu kenapa?, yaitu sebagai pengalihan.

Saat sampai pada target, tempat itu seperti rumah pada umumnya, berdiri di hook. Sisi barat adalah rumah dan sisi timur adalah dinding pembatas. Tidak ada yang janggal jika dilihat dari luar, yang paling mengesankan adalah di bagian bawah rumah, dekat lantai dasar dibuat sebuah basement berisi puluhan mobil dan motor sport.

Tim Bravo, dengan komando paman Ben, sudah mengintai dan mengepung tempat itu dari lapisan luar, sedangkan tim Alpha menyusul, lantas menerabas masuk selepas mendapat perintah paman Rio, Bergerak, menyelundup, mengepung tempat tersebut di beberapa titik.

Beberapa kali paman Rio menyeru, tak ada jawaban, hingga dia dan beberapa rekannya masuk lebih dalam.

Dia sudah ada di bagian terdalam rumah tersebut, tak ada tanda-tanda kehidupan yang menyertai, tempat itu nampak hening. Kenapa mereka meninggalkan rumah kosong dengan kendaraan yang sebegitu banyak di basement?

Aku berlari ke arah paman Rio,"Paman, aduhh ...." spontan aku terpelset oleh karpet yang terhampar di ruangan itu, dengan posisi telungkup, sungguh memalukan.

"Emi, hati-hati, ayo bangun," tutur paman sembari memberikan tangannya.

"Paman, ada yang aneh, aku mendengar sesuatu, seperti―musik," kataku, heran.

Paman Rio berhasil dibuat bimbang olehku, tapi seketika paman langsung mengikutiku. Telinganya ditangkupkan ke lantai kayu tersebut. "Ini ..." mata paman Rio membelalak, serta-merta memandang ke arahku.

LidikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang