1

98 16 68
                                    

Sabtu pagi yang ceria. Aku melaju keluar dari kamarku, cepat, lesat, seperti apa pun yang mampu menandingi lariku. Melompat bak kelinci saat menuruni dan menepaki setiap anak tangga, lalu kembali berlari menggapai pintu yang berada di ruang tamu. Karpet bulu menghalangi langkahku sepersekian detik, tetapi kembali aku bangkit. Salah satu tanganku berhasil meraih pegangan pintu, membukanya. Sinar langsung berlomba menyeruak masuk ke dalam ruang, mengisinya. Silau, mataku mengerjap cepat. Sekilas aku melihat tubuh menjulang dengan celana bahan hitam, menutupi kakinya yang jenjang. Kemeja berwarna putih dengan kelambu jas hitam, aku langsung mengenalinya, ya, dia mamaku. Mamaku tersayang.

"Mamah ..." tangannya terulur, wajahku mengikuti tangan itu dan laun jatuh ke dekapannya, "Mamahhh, Emi kangen Mamah, senang sekali Mamah pulang, Emi kangen, Mah," kataku, membalas menggenggam erat jasnya, sambil terisak.

"Sayang ...." Mama mengusap puncak rambutku, "Tau gak, mama selalu bermimpi bisa pulang untuk ketemu kamu, mama bersyukur sekarang menjadi kenyataan." Ubun-ubunku bergetar, kepalaku terasa dingin, hangat ketika kecupan mendarat di puncak rambutku.

***

Di suatu tempat, aku berdiri bersisian dengan orang yang cukup lama dekat denganku, aku hanya perlahan merasa nyaman bersamanya, kian laun kian percaya kalau dia bisa menjadi kunci pembuka masalahku.

"Kau berjanji padaku, apa yang aku lakukan, informasi apa yang aku bawa, kau tak akan gentar," tegas paman Rio padaku.

Angin yang sedari tadi silih berganti membentur tubuhku, menyibak rambut memecah nyenyat, berusaha membuat ramai rooftop yang hanya terisi aku dan pria dengan pakaian necis itu.

Aku memutar arah dia pun mengikuti, sekarang posisinya berhadapan denganku, mataku secara spontan membidik pupil matanya,"Ya, aku tak akan melempar janji, aku memang harus siap, dan kenyataannya memang seperti i-tu," aku menunduk, air mataku tak tertahankan, mengapa? Kepalan yang sedari tadi aku tahan, kini semakin menguat, "Benartah dendam lebih berbahaya dari belati, Paman," ucapku, aku kembali mengarahkan pandanganku padanya, berusaha tegap meski bumi merayu menghisap tubuhku.

"Kau harus kuat, esok kita akan mengikuti inspeksi," tutur paman Rio.

Mohon maaf jikalau masih banyak kesalahan. Mohon masukkannya dengan memberi komentar di bawah, agar tulisan kedepannya lebih baik lagi. terimakasih yang sudah memberi masukkan :)

LidikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang