Eight (What?)

7.3K 791 126
                                    

"Hyuck, buka pintunya!" ucap Jeno di depan pintu kamar Donghyuck dengan suaranya yang cukup keras. Tangannya terus mengetuk pintu kamar itu berharap sang pemilik akan segera membukanya.

"Hyuck, aku minta maaf. Keluarlah..." pinta Jeno tapi tetap saja tidak ada jawaban dari dalam.

Jeno pasrah, berakhir menatap ibunya yang berdiri di sampingnya. Setelah Jeno menyuruh teman-temannya untuk pulang tidak lama kemudian ibunya datang. Wanita paruh baya itu tiba-tiba saja datang tanpa memberitahukannya.

"Coba eomma saja yang membujuk Donghyuck, pasti dia mau keluar." pinta Jeno pada ibunya-- Lee Irene.

"Baiklah." Nyonya Lee berjalan mendekati pintu kayu tersebut.

"Donghyuckie, ini eomma. Keluarlah sayang, ada yang ingin eomma beritahu padamu sayang."

Dan benar kata Jeno, hanya dengan sekali bujukan Donghyuck langsung membuka pintu kamarnya.

"Oh eomma ada apa ke sini? Ayo kita bicara di dalam kamar saja," ajak Donghyuck dengan sedikit senyuman terpaksa.

"Tidak usah sayang. Kita berbicara di bawah saja karena ibu ingin berbicara dengan kalian berdua," Irene bergantian menatap Donghyuck dan juga Jeno. Si tampan mengangguk-angguk setuju sementara si manis menghela napas pasrah.

Jika bukan karena ibunya Jeno, Donghyuck mana mau keluar kamar. Ia masih marah dengan lelaki itu, ingin rasanya ia menghajar wajah tampan itu sampai babak belur.

Dengan hati yang berat, Donghyuck melangkahkan kakinya mengikuti dua orang yang berjalan di depannya menuruni anak tangga dan duduk di sofa.

"Jeno, Donghyuck seharusnya kalian menyudahi pertengkaran dan juga permusuhan kalian. Jika kalian terus seperti ini, ke depannya tidak akan baik untuk kalian. Jadi ayo berbaikan. Jeno peluklah Donghyuck dan Donghyuck peluklah Jeno sebagai tanda kalian sudah berbaikan."

Irene menasehati kedua anaknya. Kedua orang itu pun dengan sedikit terpaksa-- hanya Donghyuck-- mendekatkan tubuh mereka dan berpelukan. Donghyuck ingin pelukan itu segera berakhir tapi Jeno menahannya untuk lebih lama dan setelah itu barulah ia melepaskan pelukan mereka dengan memberikan kecupan di kedua pipi dan dahi Donghyuck. Hal itu membuat Donghyuck mendelik sebal dan Jeno tersenyum jahil. Irene pun ikut tersenyum melihat kejadian itu.

"Jadi hal apa yang ingin eomma sampaikan?" tanya Donghyuck sambil menjauhkan sedikit posisi duduknya dari Jeno.

"Jadi begini, sebelum papa dan mamamu pergi ke luar negeri untuk mengurus bisnis, mereka menitipkan ini kepada eomma." Irene menunjukkan dua buah tiket.

"Tiket?" tanya NoHyuck bersamaan.

"Ya ini tiket. Tepatnya tiket untuk kalian liburan ke Jerman dalam rangka untuk merilekskan pikiran kalian sebelum nanti kalian menghadapi ujian kelulusan."

"Kurasa itu tidak perlu, eomma," tolak Donghyuck dengan halus.

"Jadi eomma harap kalian bisa memanfaatkan waktu empat hari kalian di sana dengan sebaik mungkin. Waktu keberangkatan kalian adalah besok, untuk urusan sekolah semuanya sudah eomma atur jadi kalian tidak perlu memikirkannya lagi." sambung Irene, tidak mengindahkan penolakan dari Donghyuck.

"Terima kasih eommaku sayang," ucap Jeno sambil tersenyum ceria dan dengan semangat menerima tiket itu.

"Sama-sama. Kalau begitu eomma pulang dulu ya,"

Irene berdiri kemudian mencium kening kedua putranya dan berjalan menuju pintu.

"Hati-hati eomma." ucap keduanya.

•••

Donghyuck duduk termenung di balkon kamarnya, pandangannya lurus ke depan menatap lampu-lampu yang menerangi kota tempatnya tinggal. Hari sudah semakin larut, tapi matanya belum juga mengantuk dan besok adalah hari keberangkatannya dengan Jeno ke Jerman.

Secret || NohyuckWhere stories live. Discover now