Thirtheen (The Truth)

3.7K 493 52
                                    

Taman.

Tempat itulah di mana sekarang Donghyuck berada. Ia tidak benar-benar pulang ke apartemen karena ia akan bertemu Mark. Donghyuck ingin menyampaikan sesuatu.

Lama menunggu, barulah Mark sampai di mana Donghyuck berada dengan napas tersengal-sengal karena habis berlari.

"Hyuck, maafkan aku. Tadi ada sesuatu yang harus kuselesaikan terlebih dahulu." ujar Mark dengan napas masih tersengal-sengal.

Donghyuck membalasnya dengan senyuman lalu menarik Mark untuk duduk di sampingnya.

"Apa ada yang ingin kau bicarakan?"

"Hyung, bagaimana jika aku bilang aku sedang... hamil?" Di akhir kalimatnya, Donghyuck menurunkan volume suaranya. Rasanya ia tak ingin menyampaikan hal itu, tapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya dari Mark. Lelaki blasteran itu harus tahu.

"Hamil?!" Jantung Mark berdetak dengan cepat mendengar hal itu dari Donghyuck, ia sangat terkejut tapi berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

"Wah, itu kabar yang membahagiakan, selamat untukmu dan Jeno. Aku bahagia mendengarnya." Mark memaksakan senyum dan Donghyuck mengetahui itu.

"Kau tidak baik-baik saja, hyung."

"Tentu aku baik,"

"Tapi matamu menunjukkan kau sedang tidak baik."

Kalimat itu membuat Mark terdiam. Ia mengalihkan pandangannya agar Donghyuck tidak semakin dalam menatap matanya yang memancarkan kesedihan, ia tidak mau Donghyuck bersedih karena dirinya.

"Aku minta maaf, hyung."

"Kau tidak salah, Hyuck. Jangan meminta maaf."

"Andai saja... andai saja dulu hyung tidak kembali ke Kanada, pasti semua ini tidak akan terjadi."

Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya mengalir di pipi mulus Donghyuck, ia memeluk tubuh Mark erat, menenggelamkan wajahnya di bahu lelaki Kanada itu. Sama halnya dengan Donghyuck, air mata Mark juga mulai ikut mengalir di pipinya. Ia balas memeluk tubuh mungil itu dengan erat seakan tak mau kehilangannya. Namun keadaan tidak mendukung, terlebih lagi dengan kabar Donghyuck yang sedang hamil dan suatu permintaan orang tua Donghyuck yang membuatnya benar-benar sudah tidak bisa lagi memilikinya.

•••

Hari sudah hampir petang. Jeno duduk sendirian di ruang tamu. Sejak Donghyuck pulang lebih dulu, ia sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda keluar dari kamarnya sendiri.

Sampai malam tiba, Donghyuck hanya keluar dari kamar saat makan malam dan setelah itu kembali ke kamarnya. Sekarang adalah waktu untuk tidur, tapi Donghyuck tetap berada di kamarnya dan tidak kembali ke kamar Jeno untuk tidur bersama. Hal itulah yang saat ini membuat Jeno harus membujuk Donghyuck di depan pintu kamarnya.

"Donghyuck, ayo tidur di kamar kita. Maafkan aku soal kejadian di sekolah tadi, aku benar-benar menyesalinya." Jeno menyesali sekali perbuatannya tadi.

Dua, tiga hingga lima menit menunggu tetap saja tak ada jawaban dari Donghyuck. Pintu ber-cat putih itu masih setia tertutup rapat. Jeno lupa di mana menaruh kunci cadangan kamar Donghyuck, kalau saja ia ingat di mana menaruh kunci tersebut, sudah dipastikan sejak tadi ia langsung masuk ke kamar Donghyuck dan menggendong paksa pria hamil itu ke kamar merekan dan tidur di sana.

Karena sudah sangat lelah dan mengantuk, Jeno menyudahi acara membujuk Donghyuck dan memilih kembali ke kamarnya.

•••

Jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, artinya masih awal untuk bersiap pergi ke sekolah. Karena itulah sekarang Jeno sedang asik memperhatikan wajah damai di hadapannya.

Jeno bangun lebih awal untuk mencari keberadaan kunci cadangan kamar Donghyuck dan berhasil ia temukan.

Jeno sangat mengagumi karya Tuhan di depannya. Wajahnya begitu manis serta menenangkan. Matanya begitu indah terutama saat tersenyum. Terakhir bibir semerah cherry-nya yang menjadi candu untuk terus dirasakan. Jeno merasa sangat beruntung bisa memiliki karya indah ini, ia akan berusaha untuk membahagiakannya.

Jari-jari Jeno menelusuri wajah Donghyuck, mengelus lembut pipi gembilnya lalu mengecup lama bibir merah itu. Saat Jeno menjauhkan wajahnya, Donghyuck sudah membuka mata lebar. Mungkin kaget dengan kehadiran Jeno. Ia pun mendorong kuat tubuh Jeno agar menjauh darinya.

Donghyuck hendak bangkit dari ranjang, tapi pelukan Jeno menahannya. Ia ingin melepaskan pelukan itu tapi karena tenaganya masih belum terkumpul seluruhnya jadi ia tak bisa meloloskan diri dari pelukan Jeno.

"Jangan marah lagi padaku ya. Aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin, sayang." Jeno menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Donghyuck, menghirup dalam aroma bangun tidur dari tubuh itu.

"Minggir!"

Dengan sekali hentakan Donghyuck mendorong tubuh Jeno ke belakang. Donghyuck cepat-cepat melangkahkan kakinya ke kamar mandi, tak mau berlama-lama karena malas memandangi wajah Jeno yang sangat ingin ia pukuli itu.

Donghyuck selesai dari acara mandinya, kemudian mengambil seragamnya. Jeno masih di ranjang, memandangi pergerakan Donghyuck. Saat Donghyuck akan kembali ke kamar mandi untuk mengenakan seragam, Jeno memeluknya dari belakang.

Risih. Itulah yang Donghguck rasakan. Ia risih dengan setiap perlakuan Jeno, kali ini ia sedang sangat muak melihat wajah Jeno.

"Forgive me, please." mohon Jeno.

Tapi bukan jawaban 'iya' yang Jeno dapatkan malah injakan kuat di kakinya. Sang pelaku melenggang santai menuju kamar mandi, dengan seragam yang ada di tangannya. Jeno hanya bisa merintih kesakitan sambil memegangi kakinya.

to be continued
.
.

Secret || NohyuckWhere stories live. Discover now