Kembali?

1.1K 56 0
                                    

Jika egois dapat menghapus semua luka maka ia, pasti melakukannya. Jika egois tidak menyakiti orang lain dirinya ingin menjadi sang egois itu sendiri bukan korban dari kata itu.

"Ini bukan jalan ke kontrakanku," ujar Nadira saat melirik jalanan.

Lima hari ia, dirawat dan selama itu juga Nahdif yang mengurusnya. Menemaninya bahkan tak pernah mengeluh saat kata ketus dirinya utarakan.

"Iya." Nahdif tersenyum hangat yang langsung dibalas delikan kesal.

Nadira wanita yang santun tahu tatakrama bisa memutar bola matanya di hadapan lelaki yang dulu sangat ia hormati.

"Mas, mau nganterin aku lagi ke terminal? Sebaiknya tidak perlu lebih baik antarkan aku ke rumah Anggi," ujar Nadira.

Nahdif menunduk, perkataan Nadira merupakan sindiran secara halus bagaikan pisau belati yang telah tercemari racun lalu menghujam ke ulu hati.

"Pulang ke rumah kita," ucap Nahdif.

"Aku, mau turun di sini aja," sahut Nadira.

"Demi anak kita, Nad." Nadira hanya memalingkan wajahnya. Suaminya pandai sekali memainkan kata, membawa anaknya yang tidak tahu menahu.

"Egois," gumam Nadira.

Mobil itu berjalan sangat lamban, yang seharusnya ditempuh hanya dalam 45 menit kini mencapai satu jam setengah.

Nahdif melirik wanita yang ia jadikan pelampiasan sedang terlelap. Terbesit penyesalan, bagaimana dulu dirinya memperlakukannya.

Ia turun lalu mengitari mobil, perlahan membuka pintu mobil.

Membawa Nadira, dalam gendongannya dengan susah payah. Berusaha membuka pintu.

"Selamat datang Sayang, aku janji akan memperbaiki semuanya membenahi hati untukmu," gumam Nahdif.

Dengan perlahan ia membaringkan Nadira. Melepas jilbabnya lalu membuka gordeng dan ikut berbaring bersama.

"Eungh!"

"Udah bangun, Nad," ujar Nahdif dengan sambutan usapan lembut di kepalanya.

"Lepas, gerah ish!" Perlahan lengan kekar yang memeluknya kian mengendur.

Hening

Nadira asyik membelakangi lelakinya dan Nahdif diam dengan segala rasa bersalahnya.

"Nad, kitakan sudah sepakat untuk memulainya lagi." Nahdif membuka suara.

Helaan napas panjang perlahan terdengar samar.

"Aku, tahu seorang pengkhianat yang meninggalkan luka dan kecewa tak bisa dimaafkan tetapi, bisakah kamu memberiku kesempatan?"

Nadira merubah posisi menjadi duduk melepas ikat rambutnya lalu menyigarnya ke belakang. Membiarkan surai itu tergerai.

"Aku, lapar." Suara Nadira pelan namun begitu tegas mengintrupsi Nahdif.

Dua kata yang membuat Nahdif bahagia. Nadira meminta!

Lelaki itu mengernyit raut khawatir terlihat jelas. Ia lupa akan hal itu! Bahkan bahan masakan dirinya tak mengisi lemari es.

"Kamu, tunggu di sini biar Mas yang beli. Mau apa?"

"Ayam geprek," jawab Nadira.

Nahdif tersenyum, tidak biasanya wanitanya meminta mungkin inikah yang dinamakan mengidam? Dirinya begitu semangat!

Menguatkan tekad untuk mencintai sang istri.

"Tunggu ya." Nahdif berniat mengecup kening sang istri namun segera mendapat dorongan.

Dilema CintaWhere stories live. Discover now