Diceraikan Secara Halus

1.1K 57 2
                                    

Tiga minggu berlalu melewati detik demi detik, menit, jam hingga hari penuh dengan rasa pilu.

[Mas, Nadira minta tolong jemput di kampus bisa gak? Soalnya hujan susah cari taksi]

[Nad, kamukan bukan anak kecil lagi jadi tak perlu manja. Mas juga lagi menemani Zahra chek up]

Membaca pesan balasan yang membuatnya kembali kecewa. Adil seperti apa yang lelaki itu berikan? Rasa dan perhatian semuanya untuk Rinda.

Ia menerobos derasnya hujan. Membiarkan rinai itu membasahi diri.

🍁🍁🍁

Ia seorang wanita yang hanya bisa menangis. Memeluk bantal.

"Kau, manja Nad. Seperti anak kecil begitu saja menangis," cibir Nahdif.

"Di mana letak adilmu, Mas!" seru Nadira.

"Kau menuntut? Ingat setiap bulan aku masih memberimu nafkah bukan, dan aku masih mengirimi orang tuamu, Nad," papar Nahdif.

"Tidak adakah rasa, untukku?" tanya Nadira.

"Jika, kau terus menuntut seperti ini aku tak kuat, Nad," jawab Nahdif.

Lelaki itu mengambil tas tangannya memasukan seluruh pakaian wanitanya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Nadira.

"Aku, akan mengantarkanmu ke terminal bus. Pulanglah kepada orang tuamu," jawab Nahdif.

Isakan tak henti-hentinya keluar darinya. Lelaki itu mengembalikanya kepada orang tuanya dengan cara seperti ini? Bukankah dulu ia memintanya secara baik-baik.

Setelah menurunkannya di terminal. Nahdif langsung pergi. Meninggalkan dirinya tanpa kata.

Haruskah ia kembali ke desa?

Tidak, terlalu sulit menjawab pertanyaan ayah, ibunya. Ke mana dirinya harus pergi?

***

"Aku gak nyangka Nad, Nahdif seperti itu," ucap Anggi.

Ya, hanya Anggi yang dirinya punya. Sahabatnya yang ia punya.

"Aku, yang salah Nggi," tutur Nadira.

Lelakinya sudah tak perduli. Menyuruhnya kembali kepada orang tuanya berarti secara halus ia diceraikan bukan?

Melanjutkan kehidupan, ia tak mau terus-terusan terlena akan kecewa. Orang tua dan adiknya perlu biaya. Akhirnya ia menerima tawaran sahabatnya untuk magang. Kuliah dan bekerja.

"Nad, ayo pulang."

"Bentar lagi Mbak, nanggung," ucap Nadira.

"Kau, ini selalu lembur. Jangan sampai tagihan listrik membengkak bulan ini karenamu lho."

Nadira tersenyum. Sebuah perusahaan menerimanya bekerja. Mendapatkan atasan yang begitu baik membuatnya begitu nyaman dan semangat dalam belajar.

"Ayo, pulang bersama."

Membereskan kertas dan mematikan komputer. Baru saja berdiri kepalanya berdenyut nyeri, buram, gelap.

Mengerjapkan netra berkali-kali aroma menyeruak membuatnya mual.

"Nad, minum tehnya," ucap Anggi.

"Aku pingsan, ya? Mungkin terlalu kecapean," ucap Nadira.

"Kamu hamil," tutur Anggi.

Tidak ada jawaban. Entahlah ia sendiri juga bingung. Kabar bahagia seharusnya namun, kini terdengar seperti bencana yang meluluh lantahkan kembali dunianya.

Dilema CintaWhere stories live. Discover now