Patah Hati Pertama

44.7K 2K 68
                                    

"Aku nggak pernah tahu bahwa,” Septian menjeda kalimatnya, “dia hadir.”

Wina melengkungkan bibirnya, membentuk senyum tipis saat melihat foto bayi yang lucu di layar ponsel milik Septian —tunangannya yang ternyata sudah menjadi seorang ayah.

“Dia lucu,” balas Wina yang kembali men-zoom foto bayi.

“Dan aku nggak tahu sekarang harus gimana.”

Wina mengembuskan napas berat, lalu menyandarkan punggungnya. Dia tersenyum kecil, dalam hatinya miris  melihat sekeliling. Kafe romantis di pusat kota dipenuhi pasangan serasi saling berbagi cinta. Dia memandang wajah-wajah sejoli dihiasi gurat bahagia, sedangkan dirinya tercabik. Wina berusaha tabah semenjak Septian mengaku bahwa anaknya sudah lahir. Wina mengira Septian hanya bercanda. Namun, dia mulai percaya saat melihat raut wajah tunangannya yang bertambah serius—sama seriusnya saat melamar Wina tiga bulan yang lalu.

Bayi itu lahir dari rahim kekasih yang diputuskan Septian beberapa bulan lalu, sebelum menjalin hubungan dengan Wina. Septian mengaku bahwa dia tidak tahu menahu kalau mantan kekasihnya tengah mengandung saat itu. Dia mengetahuinya setelah dipertemukan kembali dengan mantan kekasihnya yang telah melahirkan.

Saat itu, Wina hampir menangis karena merasa dijadikan pelarian semata. Tetapi, dia tahan karena tidak ingin terlihat lemah di depan mantan tunangannya.

“Mungkin tanggung jawab,” jawab Wina masih berusaha tegar. “Dengan menikahinya dan jadi Papa sungguhan.”

“Lalu kamu gimana, Dek? Kita udah tunangan.”

Wina menggulirkan matanya pada Septian, menatapnya lurus. “Aku nggak bakal gimana-gimana. Kita baru tunangan, bahkan aku belum siap untuk punya hubungan. Jadi, kamu bisa ambil tanggung jawab kamu. Aku bakal jelasin ke Papa.”

Teringat orang tuanya, Wina hampir menangis tidak bisa menahan rasa kecewa. Demi apa pun, orang tuanya sangat menyukai Septian sebagai calon suaminya. Wina tidak bisa membayangkan jika mereka tahu bahwa calon mantu idaman mereka ternyata mengecewakan. Rasanya, Wina ingin mencabik Septian saja. Namun, kesedihan membuatnya lemah.

“Kalau kamu belum siap, kenapa terima lamaran aku?” tanya Septian heran.

Wina terkekeh geli mengingat kembali kesalahpahaman Septian yang menganggap Wina menerima lamarannya.

Wina menghembuskan napas lega begitu Septian datang dan duduk di samping keluarganya tiga bulan yang lalu. Entah kenapa, secara tiba-tiba keluarga Septian mengajak keluarga Wina untuk berkumpul.

Terlepas dari itu, Wina merasa ada yang berbeda dari Septian. Pria itu menjadi lebih pendiam, lebih fokus pada dirinya, dan kadang tersenyum canggung. Wina malu dan menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya di bawah meja. Dia mendengar Septian bicara, tapi kalah fokus dengan pesan  mengejutkan yang didapat dari temannya.

Yaya: Bonus lo di acc 7jt. Traktiran lo!

Yes!” pekik Wina tanpa sadar. Kemudian, terdengar sahutan hamdallah di sekitarnya. Dia celingukan tidak mengerti dan melihat Septian yang sudah berbinar bahagia.

“Makasih, Dek,” kata Septian dengan wajah lega dan bangga.

Wina makin tidak bisa berkata apa pun saat Septian memasangkan cincin di jari manisnya, lalu mencium lembut tangan Wina yang membuat hatinya bergetar.

Wina tertawa kecil. “Itu kesalahan.”

Septian mengerutkan keningnya.

Wina menjelaskan, “Pak Debra, bos aku, beli rumah di perumahan Yaya buat ibunya yang nggak mau tinggal di rumah Pak Debra karena rumah bos bakal ditinggali istri dan anak-anaknya. Aneh emang. Pak Debra aja nggak punya pacar, gimana mau punya istri? Maksudnya, ibunya, kan, bisa tinggal di rumah Pak Debra dulu gitu, biar ....”

Just Wina Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang