[2] Immortal Eve

Comincia dall'inizio
                                    

Seluruh langit Frecsxy menjadi kelabu pada saat itu. Hamparan tanah menjadi lautan merah pekat. Aku berlari ketakutan, tidak lagi memperdulikan keadaan keluargaku. Seolah melupakan semua hal. Kini yang terlintas dibenakku adalah bagaimana cara menyelamatkan diri dari kejaran penyihir yang keji tersebut. Aku berlari masuk ke dalam gua untuk bersembunyi. Sejenak aku menghela napas lega karena berhasil kabur dari kejaran para penyihir.

Tanpa ku sadari, ternyata gua tersebut juga menjadi tempat persembunyian penyihir. Saat itu, aku yang masih berusia belasan tahun seolah terkepung. Mata pernyihir yang berwarna merah itu membelalak, seolah muak melihat aku, salah satu keturunan manusia. Kurang lebih ada sekitar tujuh penyihir yang mengepungku, mereka mengangkat tongkat sihir sembari merapalkan mantra berbeda. 

Aku tahu jika mereka ialah penyihir yang berasal dari kasta bawah—terlihat dari pakaian yang mereka kenakan. Walau begitu, penyihir tetaplah penyihir. Mereka lebih hebat dari pada kami, terlebih aku yang masih proses pembelajaran ilmu sihir. Tubuhku membeku, aku tidak tau harus bagaimana. Masing-masing tongkat sihir mereka angkat dan diarahkan padaku. Ketika aku hendak berlari, mantra-mantra itu mengenai tubuhku. Jadilah aku seperti ini.

Aku, Eve, si manusia abadi tanpa fisik yang memiliki begitu besar kenangan buruk. Walau begitu, aku memiliki keahlian untuk mengubah mimpi buruk seseorang menjadi mimpi indah. Kutukan sihir ini seolah tak membiarkanku hidup selamanya dengan bahagia. Kenangan buruk ku terus saja bertambah ketika aku sudah berhasil membuat mimpi buruk seseorang menjadi mimpi indah. Alhasil, kenangan mimpi buruk seseorang yang telah aku ubah, akan menjadi kenagan buruk ku pula. Tak jarang itu membuat aku susah untuk tidur. Kenangan buruk ku seolah menghantui ku bak rangkaian kaset film yang terus berulang.

Kalian pasti bertanya, mengapa aku masih saja mengubah mimpi buruk orang lain jika hal itu membuat kenangan buruk ku semakin bertambah? Hal itu terjadi akibat perbedaan mantra yang dulu di ucapkan oleh para penyihir itu, hingga menyebabkan banyak kutukan berbeda kuterima. Sesungguhnya aku pun tidak mengetahui mantra apa saja yang mereka tujukan padaku. Tidak apa-apa. Setidaknya dengan begini, aku bisa melihat orang lain bahagia walaupun aku rela kenangan burukku terus bertambah.

Oh tidak, lelaki yang aku usap dahinya tadi membuka mata dan menatapku. Tunggu. Dia bisa melihatku? Untuk pertama kalinya lensa mataku yang berwarna biru terang ini bertatapan dengan manusia. Aku bangun dan beranjak pergi. Namun tiba-tiba tanganku ditahan olehnya, sembari berkata, "Bisakah kau tetap disini?"

Aku tidak mengatakan sepatah katapun walau aku mampu. Aku masih tertegun. Aku kembali duduk di tepi ranjang miliknya. Kulihat ia kembali berbaring dengan tangan yang masih memegang pergelangan tanganku. Jantungku berdetak kencang. Aku mengerti apa arti detak jantung ini. Detak yang tidak ingin aku rasakan, sebuah detakan cinta. Aku sudah terlampau sering merasakannya—mengingat aku sudah hidup selama ribuan tahun—dan aku membenci merasakan hal itu. Karena setiap kali jantungku berdetak seperti ini, manusia yang membuat detak jantungku begini tidak akan hidup bahagia. Yah, begitulah salah satu kutukan yang ku terima.

"Kumohon lepaskan, aku harus pergi. Aku tidak boleh terlalu lama disini, atau," kataku menggantung.

"Atau apa? Aku tidak peduli, cukup temani aku sebentar saja."

"Bagaimana bisa kau melihatku sementara yang lain tidak?" tanyaku penasaran.

"Aku memang punya kemampuan melihat apa yang tidak bisa dilihat orang. Jika kau ingin tidur, tidurlah di disini. Aku akan tidur di sofa. Asalkan jangan pergi," katanya.

"Apa kau benar manusia? Ataukah kau, ehem, seorang iblis? Omong-omong aku juga tidak berminat untuk tidur."

***

Aku langsung membuka mata ketika mendengar suara ayam berkokok. Aku sudah terbaring di atas ranjang milik orang asing tersebut. Sepertinya aku tertidur tanpa sadar. Aku melihat lelaki itu masuk ke dalam kamar miliknya sembari membawa nampan. Aku pun menautkan kedua alisku. Makanan?

"Aku tidak makan," kataku.

"Oh, ini? Siapa yang mengatakan jika ini untukmu? Ini untuk diriku sendiri."

Perkataannya membuatku membulatkan mata. Orang ini benar-benar menyebalkan hingga berhasil membuatku mengulas senyum tipis. Sial! Jantungku bergemuruh. Apa ini cinta? Tidak mungkin. Aku tidak diperbolehkan untuk mencintai. Ah, seandainya saja jika aku menjadi manusia normal. Pasti aku juga akan merasakan bagaimana rasanya dicintai dan mencintai.

"Aku Ferdy, namamu siapa?"

"Kau bisa memanggilku Eve. Kau tinggal sendiri?" tanya ku melihat kesunyian rumahnya.

"Iya. Orang tuaku sudah meninggal dua tahun lalu," jawabnya.

Aku berjalan mengitari kamar, melihat semua benda yang ada di kamar sederhana itu. Oh tidak! Sebuah vas bunga terjatuh karena aku tanpa sengaja menyenggolnya. Satu hal lagi yang unik dariku. Walaupun aku tanpa fisik, aku masih bisa memegang benda-benda milik manusia. Dengan terburu, aku membersihkan pecahan vas keramik putih bercorak bunga itu. Ferdy meletakkan kembali piringnya dan membantuku.

"Kau tak apa?" tanyanya sembari memperhatikan telapak tanganku.

Aku meringis ketika merasakan perih. Mataku kembali membulat melihat darah yang keluar dari telapak tanganku. Bahkan selama beribu tahun lalu aku tidak pernah mendapatkan luka yang membuat tanganku berdarah. Aku malah berpikiran jika aku tidak bisa terluka.

"Tunggu di sini, akan mengambilkan plester untukmu."

Ferdy merawat lukaku dengan telaten. Sesekali, mata kami saling berpandangan. Detakan jantung ku kembali bergemuruh. Cepat-cepat aku mengalihkan pandagan melihat langit luar jendela. Setelah selesai memprester luka ku, aku segera bangkit untuk menjauh dari tubuhnya yang duduk di sebelahku. Sial! Aku kehilangan keseimbangan hingga tubuhku terjatuh menimpa Ferdy. Jarak wajah kami pun kurang dari lima sentimeter.

Aku bergegas berdiri sebelum tubuhku kembali dihempaskan Ferdy di atas ranjang. Jantungku terpacu lebih kencang lagi. Ferdy memejamkan mata dan wajahnya bergerak semakin dekat. Aku berusaha menghindar namun Ferdy mengunci pergerakan tubuhku.

Ketika bibir kami bersentuhan, aku merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Ada sebuah reaksi dalam tubuhku. Aku mendorong tubuh Ferdy dan beranjak berdiri. Tubuhku bergetar. Aku menangis kesakitan, seolah seluruh tulangku patah. Aku berteriak di sudut kamar. Tubuhku terasa terbakar, panas sekali.

Aku melihat kedua tangan pucatku terbakar oleh api berwarna biru. Beberapa kali aku mendengar Ferdy berteriak memanggil namaku. Tapi aku tidak peduli. Rasa sakit kembali menjalari tubuhku. Aku berteriak keras, tak peduli bagaimana Ferdy menatapku aneh. Kedua tanganku yang terbakar pun menghitam. Perlahan, mulai hancur melebur bersama angin.

'Inilah akhir hidupku?'

Aku terisak. Lututku terjatuh. Setelah ribuan tahun hidup, pada akhirnya aku mati. Aku akan menjadi butiran abu yang menari bersama angin. Air mataku mengalir. Entah itu air mata kebahagiaan atau kesedihan. Aku menoleh ke arah Ferdy yang duduk bertumpu lutut dengan mulut terbuka. Nampaknya ia masih tidak mengetahui semua yang terjadi di hadapannya. Jangankan Ferdy, aku sendiri juga terkejut dengan perubahan diriku.

"Terima kasih Ferdy, aku pergi."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, perapian di tubuhku rasanya semakin cepat membakar. Seluruh tubuhku berubah menjadi abu yang terbang bersama angin. Keluar dari jendela kamar Ferdy yang terbuka. Kini aku hanya menyisakan nama. Eve.

THE END

T I M E (Kumpulan Cerpen)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora