11. Hari Bersamanya

2.4K 278 24
                                    

Perjalanan ke Fukai Station sekitar 100 mil dari South Pole Station. Sebenarnya Fukai punya fasilitas helikopter, namun Profesor Nikijima mau melihat kondisi gletser dulu. Lagipula mereka berdelapan, akan sulit jika heli harus berhenti dulu dan membawa mereka semua.

Sepanjang perjalanan, Rara mengobrol dengan dokter Edward. Laki-laki paruh baya seusia ayahnya yang berasal dari Inggris itu sangat menyenangkan. Mereka membicarakan buku Homodeus, Sapiens sampai Genom. Dokter Edward sangat mengagumi Matt Ridley, penulis Genom yang meramu tulisan tentang upaya penerapan genetika mulai dari memahami penyakit Huntington sampai mengobati kanker juga mengupas kecemasan terhadap eugenika, serta implikasi filosofi dari memahami paradoks kehendak bebas.

Trius berada di bangku depan menemani salah satu teknisi yang menyetir snow coach. Dia berulangkali menoleh ke belakang saat Rara tertawa sampai si teknisi bertanya padanya apakah ada masalah di belakang.

"Kamu jangan ketawa-ketawa kaya gitu," gerutu Trius ketika mereka berjalan bersisian menuju gletser. Dia membantu Rara membawa kompartemen untuk sampel.

"Kenapa memangnya?" Gadis itu bicara sambil mengerutkan kening dan memandang ke bawah pada sepatu yang dikenakannya. Sepertinya sepatu itu terlalu licin. Seharusnya dia mengenakan sol antislip untuk permukaan es bukan salju.

"Rasanya aku mau melompat ke belakang untuk melihatmu tertawa." Rara mendongak dan mendapati laki-laki dengan topi wol tebal menutupi rambutnya itu berdiri dengan salah tingkah. Dia tidak bisa menahan tawa melihat wajah Trius. Rasanya tidak percaya laki-laki itu sudah memasuki usia tiga puluh jika melihat sikap kekanakannya. Tawa lenyap ketika gadis itu terpeleset, untunglah Trius menangkapnya tepat waktu.

"Sudah kubilang jangan tertawa-tawa!" geram Trius. Dia menggandeng tangan Rara dan tidak memedulikan tatapan orang lain. Sementara tangannya yang lain membawa kompartemen.

"Setelah ini, ganti sepatumu," perintah laki-laki itu lagi sementara Rara hanya menganggukan kepala dengan pasrah. Profesor Ezra memang meminta mereka membawa lebih dari satu pasang sepatu.

Angin bertiup cukup kencang. Kutub Selatan memang tempat paling ekstrim di dunia. Itu sebabnya tidak ada orang yang tinggal tetap di sini. Merapatkan tudung jaket dan memasang google setelah berganti sepatu, Rara berjalan mengikuti Trius. Profesor Ezra sudah hampir sampai di tempat awal gletser. Atasannya itu sedang bicara dengan kepala teknisi yang ikut bersama mereka dan Profesor Nikijima. Tim yang lain sedang mengukur dan memperkirakan bagaimana aliran gletser bisa dibelokkan.

Rara mencoba untuk bernapas normal meskipun sulit dengan kondisi berangin dan dingin. Beberapa kali mulutnya tertutup oleh salju atau es kering. Selang beberapa saat, angin mereda. Ini memang berbeda dengan badai seperti yang waktu itu.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Trius yang dibalas dengan anggukan kepala.

Mereka melihat kondisi gletser, kemudian salah satu peneliti yang juga ahli di fauna laut ingin melihat Penguin yang memang merupakan salah satu penghuni Kutub Selatan. Terlihat Penguin Adelie yang bergerombol. Tubuh mereka tidak terlalu tinggi, sekitar 70 cm dan berat antara empat sampai lima kilogram. Dari jauh, Rara bisa melihat banyak Penguin yang sedang menghangatkan telur.

Rara lebih terpana melihat tepian laut dengan warna kelabu. Rasanya seperti ada di planet lain. Sementara itu, si ahli fauna laut bercerita tentang penurunan es laut yang berakibat kelangkaan makanan sehingga populasi Penguin Adelie turun 65% dalam 25 tahun belakangan.

"Di sini aku menyadari betapa keserakahan manusia membawa kesengsaraan bagi semua ekosistem. Krisis iklim yang semakin parah, air laut yang semakin tinggi, kelangkaan makanan hingga kepunahan yang mengancam makhluk hidup dimulai dari yang terlemah." Trius menolehkan kepala saat Rara mengatakan keprihatinannya. Gadis itu menoleh dan menyunggingkan senyum lemah.

"Jangan menyerah, Ra. Mungkin saja manusia penuh keserakahan, memperkosa bumi hingga akarnya lalu menimbulkan krisis iklim. Namun aku percaya, masih ada secercah kebaikan dan harapan dalam diri manusia. Jangan pernah menyerah, Ra. Kita berjuang untuk masa depan bumi dan generasi selanjutnya."

"Kamu tahu, Olaf? Baru kali ini aku setuju 100% dan kali ini tanpa debat," tawa Rara pelan. Trius mengusap tengkuknya sendiri sambil ikut tertawa.

Setelah beberapa saat, Profesor Ezra mengajak mereka untuk melanjutkan perjalanan. Rara menoleh sekali lagi untuk melihat tepi pantai kelabu yang dipenuhi Penguin. Sepenuh hati dia berdoa semoga Penguin-penguin itu dapat bertahan di tengah gempuran pemanasan global sementara mereka, para ahli dan peneliti, bisa menemukan solusi untuk mengatasi krisis iklim.

Rara menatap Mount Erebus, gunung tertinggi kedua di sana setelah gunung volcano bernama Mount Sidley. Fukai Station berada jauh di kaki gunung Erebus. Mereka hampir saja tiba.

Fukai Station biasanya ditempati oleh para ilmuwan yang meneliti biota laut atau persiapan untuk ekspedisi ke empat gunung volcano, Mount Erebus, Mount Terror, Mount Bird dan Mount Terra Nova.

"Kamu tahu kalau semua es mencair di sini, air laut akan naik sampai 60 meter? Itu artinya kita akan hidup seperti dalam film Waterworld. Semua peradaban yang selama ini kita lihat akan punah," ujar Trius menghela napas.

Profesor Ezra menolehkan kepala pada laki-laki itu. "Lebih parah lagi kalau kejadian seperti The Day After Tomorrow."

"Hallooo! Kita sekarang sedang berada di tempat paling ekstrem di dunia dan kalian malah membahas film-film mengerikan tentang Ragnarok?" Dengkus Rara sebal, apalagi ketika yang lain ikut menanggapi.

"Kita ngebahas film tentang bencana, bukan Avengers," celetuk Trius.

"Ragnarok yang berarti kiamat, Demitrius Fujikawa. Lagipula Ragnarok yang kamu maksud itu bukan Avengers, tapi Thor."

"Apa bedanya?"

Belum sempat Rara menjawab, Profesor Nikijima tertawa keras. Dia mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Jepang yang tidak bisa dipahami oleh gadis itu.

"Nikijima-San!" seru Trius dengan wajah memerah sementara tawa Profesor Nikijima semakin keras.

"Prof bilang apa?" Sikut Rara pada laki-laki di sampingnya yang terlihat sangat malu.

"Bukan apa-apa." Alis mata gadis itu terangkat sebelah tanda tidak percaya.

"Aku bilang, Trius senang sekali menggoda hanya untuk melihatmu marah karena saat itu kamu terlihat cantik sekali," ucap Profesor Nikijima dalam bahasa Inggris yang bisa dipahami oleh semua orang di sana. Dia bahkan masih tertawa. Kali ini bukan hanya Trius, wajah Rara pun merah padam karena malu.

Setibanya di Fukai Station, Rara membantu Profesor Ezra menurunkan barang-barang. Beberapa orang menyambut dan menolong Rara untuk membawa kompartemen sampel. Mereka terlihat ramah dan menyenangkan.

"Kamu kedinginan? Hidungmu masih saja merah," kata Trius sambil mengambil alih tas yang sedang oleh Rara. Ucapan itu membuat Rara menyentuh hidungnya.

"Nggak akan hilang kalau dipegang-pegang, Ra," tawa laki-laki itu melihat mimik gadis di sampingnya yang sangat lucu.

Rara memukul lengan Trius dengan kesal. Mereka masih saja berdebat sambil sesekali tertawa saat menaiki tangga. Tiba-tiba tawa Trius menghilang. Di hadapan mereka berdiri perempuan berambut hitam legam dan panjang dengan wajah mirip sekali boneka Jepang. Rara hampir saja tidak bisa menahan diri untuk ternganga saat melihat gadis itu.

"Fujikawa-Kun." Gadis itu membungkukkan badan sebagai salam.

"Sayaka-Chan." Suara Trius seperti tercekat melihat Sayaka yang tersenyum.

"Sudah kuduga kamu pasti akan datang ke sini. Senang bisa bertemu denganmu lagi."

"Jadi, ini adalah perempuan yang Mika bilang pernah dekat dengan Trius?" Mata Rara masih membelalak.

*1 mil = 1,609 km

*

Apakah Sayaka adalah saingan Rara? Ayoooo tebakkkkk.
Yang bener tebakannya Ayas kasih kiss kiss hahaha. 😂😂

Jangan lupa voment.

Salam dari Selatan
Trius eh Ayas 😆😆

Beyond the Ice (Completed)Where stories live. Discover now