4. Secrets

2.8K 315 12
                                    

Seumur hidupnya Rara selalu menuruti semua permintaan orangtuanya kecuali tiga hal: jurusan yang dipilihnya ketika kuliah, tempat kerjanya dan perjodohan. Saat kuliah, gadis itu mati-matian bertahan untuk memilih jurusan yang diinginkannya. Ayah mengancam akan mencabut semua fasilitas dan kenyamanan, namun dia tetap teguh pada pendirian sampai sang Ayah pun menyerah.

Memilih Biotechnology Research Centre pun sempat membuat keluarganya panik. Tidak ada satupun di antara anggota keluarga Rara yang menjadi peneliti. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pebisnis atau ekonom. Keputusan Rara sempat menimbulkan polemik. Baru beberapa bulan ini, suasana di dalam keluarga gadis itu cukup tenang. Namun itu hanyalah ketenangan sebelum badai.

Sebulan lalu, Ayah mengajaknya bertemu dengan orang yang dipilih sebagai calon suaminya. Rara ingat betul hari yang menurutnya sangat mengerikan. Saat itu Ayah mengajaknya makan malam bersama. Mengingat betapa sedikitnya momen saat mereka meluangkan waktu sekeluarga, membuat Rara cukup antusias.

Sayangnya ternyata ada agenda terselubung yang diatur oleh kedua orangtuanya. Rara ingat, saat itu dia memicingkan mata waktu sesosok laki-laki berjalan dengan gaya santai memasuki restoran tempat mereka makan malam.

Andra, panggilan laki-laki itu adalah seorang musisi dan pebisnis sukses di usia muda. Menurut Ayah Rara, Andra sangat tepat dijadikan menantu. Ibu pun dengan mudahnya jatuh hati dengan laki-laki itu.

Sebenarnya Rara sangat mengenal Andra. Mereka berteman sejak kecil karena keluarga Andra menjadi partner Ayah Rara dalam mengembangkan usaha di bidang property. Berbeda dengan Rara yang sejak kecil diatur oleh kedua orangtuanya, Andra bisa menjalani hidup dengan bebas. Dia memiliki karir sebagai musisi, perusahaan yang mengembangkan bakat musisi-musisi muda sekaligus disiapkan untuk mengambil alih bisnis orangtuanya.

Masih segar dalam ingatan gadis itu ketika melihat laki-laki yang belasan tahun menjadi temannya tersenyum saat mendengar niat orangtua mereka tentang perjodohan. Bukan tanpa alasan dia tidak suka dengan rencana perjodohan ini. Andra adalah musisi penuh skandal. Nyaris setiap hari dia mendengar atau melihat berita tentang laki-laki berambut pendek itu.

"Kenapa sih lo malah senyum-senyum? Gue nggak mau dijodohin sama lo!" seru Rara tertahan ketika mereka sedang berdua.

"Lo harus terima, Ra!" Mata Andra menyipit, tidak suka dengan penolakan langsung gadis cantik di hadapannya.

"Loh? Lo kan udah punya pacar. Itu siapa penyanyi baru di perusahaan lo yang sekarang lagi ramai di akun gosip dan infotainment?"

"Itu cuma gosip."

"Jadi berita lo ngehamilin dia juga gosip?" Pertanyaan itu telak membungkam Andra. Pandangan matanya berubah menjadi sedingin es.

"Gue tolak perjodohan ini!" desis Rara ketika Andra tidak menjawab pertanyaannya. Dia keluar dari restoran tanpa merasa perlu berpamitan dengan yang lain. Ibu pasti akan mencari jawaban terbaik yang bisa didengar semua pihak untuk menyelamatkan muka keluarga mereka.

Setelah hari itu, Rara tidak pulang ke rumah. Dia lebih memilih tinggal di lab lebih lama lalu pulang hanya untuk sekedar tidur di apartemennya yang dekat dengan kantor. Pada Ibu dia berkata sedang meneliti antivirus dan media sempat meliput perkembangan penelitian itu. Sesuai dugaan Rara, keluarganya tidak akan ikut campur jika itu menyangkut nama keluarga mereka terpampang di media.

Setelah telepon dari sahabatnya, Rara melangkahkan kaki menuju kamar. Diliriknya tangan yang gemetar. Dia sudah mengganti nomor ponselnya dan tidak memberitahu siapa-siapa kecuali Rawi dan rekan kerjanya. Seharusnya dia aman, kecuali ....

"Sial! Ini pasti kerjaan Kakak," gumam gadis itu.

Seandainya tahu apa yang dilakukan Andra, apakah kakaknya itu akan membela? Ataukah semua itu malah membuatnya terjebak dalam pernikahan bisnis? Pelipis Rara berdenyut dengan rasa nyeri yang tiba-tiba timbul.

Dia menyugar rambut lalu kembali mendesah. Perasaannya tidak enak dan dia berusaha untuk mengusir rasa tidak nyaman yang mendadak muncul ketika Elaine muncul di lorong, terlihat terkejut.

"Kamu nggak apa-apa, Ra? You look terrible." Pertanyaan Elaine terdengar tulus. Rara tersenyum lalu menggelengkan kepala.

"Nggak apa-apa, kok. Ada berita apa?" tanyanya saat melihat raut wajah perempuan di hadapannya terlihat sumringah.

"Lima hari dari sekarang, akan ada peneliti bawah laut yang akan mampir. Mereka selama ini meneliti dari kapal."

Rara menganggukkan kepala tanda mengerti. Elaine pasti senang karena ini berarti dia bisa berdiskusi mengenai percepatan es mencair. Gadis itu membiarkan saja lengan Elaine menggandengnya menuju kamar, mendengarkan cerita tentang gletser yang sedang diteliti oleh tim peneliti bawah laut. Sementara ini pembicaraan mereka tentang efek pemanasan global sanggup mengalihkan kekhawatiran Rara.

Enam hari tidak terasa terlewati. Selama itu, sehari-hari dihabiskan Rara di lab bersama Profesor Ezra. Sementara di luar, udara stabil di kisaran 28 sampai 25 derajat celcius. Dia jarang bertemu dengan Trius yang lebih suka berkeliaran di udara liar bersama dengan Elaine dan Profesor Nikijima. Sejak pagi mereka sibuk berdiskusi dengan tim peneliti bawah laut yang baru tiba kemarin dan siang ini dia hanya ingin menikmati santapan siangnya.

"Ra, kamu nggak bosan di lab terus?" tanya Profesor Ezra ketika mereka sedang makan siang.

Menggelengkan kepala, gadis yang hari ini mengenakan sweater biru muda itu tertawa. "Saya suka lupa waktu kalau sudah di lab, Prof."

"Besok pergilah keluar dengan Profesor Nikijima dan Elaine. Mereka butuh tim untuk mengecek gletser."

"Tapi Prof, saya belum selesai mencatat penelitian hari ini."

"Itu bisa diselesaikan lusa." Rara hanya bisa mengangguk pasrah. Dia tidak berani menanyakan apakah Trius akan ikut bersama mereka atau tidak. Beberapa orang terlihat memasuki ruang makan. Hari ini tidak ada yang keluar dari station jadi ruang makan hampir penuh.

"Boleh duduk di sini?" Suara bariton itu meremangkan bulu kuduk Rara. Dia menoleh dan menatap manik gelap yang sedang menatap datar.

"Silakan, Trius. Tidak ada larangan untuk duduk di sini." Profesor Ezra tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Besok kamu akan ikut kami. Prof sudah memberi tahu?" Mendengar ucapan Trius, gadis itu menganggukkan kepala.

"Kita akan berkendara ke sana. Dua kendaraan akan jalan bersama-sama. Aku minta kamu menyiapkan kompartemen-kompartemen untuk ice cube dan bahan-bahan makanan sederhana. Alat berat biar aku saja yang menyiapkannya. Elaine akan info apa-apa saja yang diperlukan nanti sore."

Rara mencatat semua persiapan yang dibutuhkan ke dalam tablet yang memang selalu dia bawa. Mika berjalan ke arah mereka sambil menating baki makanannya sendiri. Laki-laki itu tersenyum dan bergabung dengan mereka. Kedatangannya tentu saja disambut Rara dengan gembira, dia bisa sekaligus menyusun daftar bahan makanan yang akan dibawa.

"Makanlah dulu, jangan bekerja selagi makan," ucap Trius pelan sambil menyuap makanan. Wajahnya terlihat kaku dan datar saat bicara.

Mika tertawa melihat wajah tampan laki-laki dengan rambut berantakan itu. "At least I know your secrets, dude."

"What secrets?" tanya Rara tanpa bisa menahan diri mendengar topik pembicaraan tiba-tiba berubah.

"None your business, Elsa." Suara Trius terdengar kesal karena ucapan Mika.

"Suatu hari nanti aku pasti akan tahu." Station ini terlalu kecil untuk menyimpan rahasia. Dia melirik Trius lalu terkejut ketika melihat pandangan mata gelap itu. Suatu perasaan yang aneh timbul saat mereka bertatapan.

*

Di jam cinderella aku update lagi part 4.

Jangan lupa untuk voment

Beyond the Ice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang