Desember - Ayana Kei

64 8 2
                                    

Desember dan Kerinduan yang Usai

Aku menengadahkan muka, memandang mendung yang membantu menghilangkan kenyamanan cahaya. Bunga-bunga mawar mengingatkanku pada seutas senyum yang singgah tiap kali melihat mawar merekah. Senyum itu telah tertinggal cukup lama, yang tersisa hanya guratan di dedaunan. Baru aku menyadari satu hal penting selama ini. Luka di hatimu belum sepenuhnya sembuh dan aku tak cukup mampu membantu.

"Aku ingin kembali ke masa saat kami masih bersama. Aku ingin Desember menyapa, membawa semua kenangan yang pernah singgah," harapmu dengan rambut tersibak angin bulan Desember.

Aku hanya menatap nanar. Kamu berdiri dari kursi taman, melangkah ke tempat yang lebih leluasa memandang awan. Bibirmu melengkung, matamu mulai terpejam, menikmati udara yang masuk bergantian. Aku menguatkan hati untuk berbincang denganmu lagi.
"Bukankah masa lalu tidak perlu diingat-ingat?"

Aku terperangah saat kamu membalikkan badan, menatapku tegas. "Meskipun kenangan membawa luka, aku tidak ingin melupakannya," jawabmu dengan tampang serius.

Aku hanya mengangguk. Ada perasaan tak terima sekaligus tak dapat membantah.

Kamu mengambil bongkahan kayu yang jatuh di kakimu. Ranting dari pohon cemara. Sepanjang jalan taman ini, jenis pohon evergreen itu selalu terpasang. Wisatawan suka mengambil foto dengan cemara sebagai teman di samping kanan dan kiri, seperti yang kini dilakukan seorang perempuan di seberang. Ia meletakkan tangan di samping dahan cemara, lelakinya sibuk menata kamera. Dengan muka yang sengaja membelakangi pemotret, sebuah jepretan telah selesai, mengabadikan kenangan yang tak seberapa nilainya saat ini, tapi amat berpengaruh di masa mendatang. Sama sepertimu yang baru menyadari kesalahan, setelah tiga tahun meninggalkan.

Kamu kembali duduk di sampingku, dengan raut muka masam dan tangan yang bertautan di dada. Aku menata napas, mencoba menciptakan suasana yang membuatmu nyaman.

"Mau ceritakan padaku sedikit tentangnya?" Aku tahu perempuan suka berkisah. Mengajakmu mencurahkan isi hati mungkin sedikit lebih baik, walau tak mengerti akan rasa sesak yang pasti muncul di dada.

Kamu menoleh dengan senyum tipis. "Bolehkah?"

Aku mengangguk. "Aku ingin tahu," jawabku.

"Dia ...." Kau memulai kisah dengan bibir mengembang. Jika mengikuti keegoisan, aku tidak ingin mendengar kelanjutannya, hanya senyum manis itu yang kubutuhkan. Tak perlu yang lain. Tapi kali ini aku menyadari deretan posisi lelaki paling beruntung yang bertengger di hatimu, dan aku bukanlah nomor satu.

Suara jeritan memekakkan telinga. Perempuan tadi yang bertingkah macam model di depan lelakinya, kini tengah terperangkap dalam pelukan. Mereka tertawa. Inginku melakukan hal yang sama padamu, tapi lagi-lagi pikiranku mengatakan bukan saatnya.

"Dia orang yang baik, Zai," pujimu, "sangat baik."

Aku mengangguk. Sudah tentu orang yang kamu beri kesempatan mengisi hati pastilah lelaki terbaik.

"Aku yang jahat," akumu dengan kepala menunduk. Aku terperangah.

"Tentu saja tidak. Kau adalah perempuan paling baik yang aku kenal. Aku tidak mungkin salah." Kucoba meyakini.

Kamu mengangguk. "Dia telah membuatku menjadi perempuan baik dan aku menyia-nyiakannya," ujarmu masih pilu.

Detik dibiarkan berlalu begitu saja tanpa suara. Dua sejoli yang sedang memadu kasih itu berpindah tempat. Angin menggoyangkan daun cemara, menandakan lambaian tangan pada dua manusia yang menemaninya. Aku menarik ritsleting jaket, membiarkan sedikit udara menyegarkan dada.

"Tahu mengapa aku menyukai mawar?" tanyamu dengan senyum sumringah. Aku menoleh, matamu telah tertuju pada bunga-bunga merah itu.

"Karena mawar menggambarkan perasaan cinta?" jawabku seadanya.

Kamu menggeleng. "Karena dia pernah memberiku mawar."

"Oh, begitu." Bagiku hal itu wajar dilakukan sepasang kekasih. Aku kembali mencari angin.

"Tapi, aku membiarkan mawar itu mati tanpa sedikit pun perasaan ingin merawatnya," lanjutmu.

Aku memicingkan mata. "Itukah sebabnya kau menganggap diri sebagai orang jahat?"

"Ada yang lain lagi. Apa menurutmu perayaan hari ulang tahun itu penting?"

"Seharusnya begitu."

Kamu membenarkan rambut. "Aku tidak mengucapkannya saat dia berulang tahun."

Aku terperangah. "Tapi, itu tidak terlalu penting buat lelaki." Beberapa temanku mengatakan demikian. Jadi pastinya aku bisa meringankan sedikit perasaan bersalahmu.

Kamu menatap mataku perlahan. Ada genangan yang hampir keluar. Aku menciut. "Aku kekasihnya, Zai. Walaupun saat itu aku belum mencintainya, tapi pantaskah seorang kekasih melupakan hari sepenting itu?"

Kamu mengusap tetesan yang keluar dari kelopak mata. Bunyi gemerisik angin bahkan sudah tak mampu kudengar lagi. Seluruh inderaku tertuju padamu.

"Dia selalu berhasil membuatku tertawa. Membawa hari-hari paling menyenangkan. Membiarkan waktu bergerak dengan senyuman. Tak hanya saat senang, dia ada ketika aku terpuruk. Masalah yang menimpa di akhir September itu, membuatku untuk pertama kali menangis di hadapannya. Aku mengingat dekapannya yang hangat, tapi tak cukup menyadarkan bahwa saat itu aku sudah jatuh cinta padanya," sesalmu.

Dadaku sesak.

"Dia memberikan seluruh perasaan cintanya, dan aku mengajak sudahan," ungkapmu.

Bagaimanapun penyesalan terbesar itu telah membawaku menjadi lelaki paling dekat denganmu saat ini.

"Aku rindu."

"Aku tahu." Kalimat itu terlontar begitu saja. Kusadari raut mukamu kebingungan. Segera dua tanganku menyilang, pertanda tidak. Perkataanku tidak berarti apa-apa.

"Jika ada kesempatan kedua, aku akan mencintainya dengan benar," harapmu.

Perasaan sakit kini benar menjalari tubuh, entah sebanyak apa jarak yang telah kupangkas, tetap saja hati ini belum dekat sesenti pun pada hatimu.

"Aku ingin mengubah jalan cerita ini, tapi tak mampu."

Pikiranku berusaha mencari solusi terbaik. "Jika kau bertemu dengannya lagi, mungkin jalan cerita akan berubah."

Kepalamu menggeleng. "Tidak akan ada yang berubah, Zai." Kamu menatapku dengan kening mengerut. "Kau belum menyadarinya?"

"Apa?" Aku balik bertanya.

"Lelakiku yang berkulit sawo matang dan memiliki senyum simpul terindah itu," ujarmu.

Aku mencoba mengingat sesuatu. Mulutku ternganga. "Lelaki di bawah pohon cemara tadi?"

Kamu tersenyum. "Dia lelaki yang kumaksud. Tak ada yang berubah. Kesempatan kedua itu hanya mimpi belaka. Sudah terlambat." Suaramu serak.

Aku tak mampu mengatakan apa pun. Satu-satunya jalan yang bisa kamu pilih saat ini adalah melangkah maju bersama penyesalan.

Dua Belas Waktu [Complete]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें