Juli - Lovedy

31 7 14
                                    

Dream

Lagi, untuk ke sekian kali aku terbangun di tengah malam. Entahlah, seperti ada seseorang yang membangunkanku, tapi anehnya aku tak menemukan siapa pun. Aku termenung dalam diamku, merangkai kejadian yang aku lalui beberapa malam sebelumnya. Kejadian yang membuatku bingung, kejadian yang aneh tapi terasa begitu nyata.
Beberapa malam ini aku tak lagi memimpikan hal serupa seperti malam-malam yang telah lalu. Entah kenapa mimpi itu tak lagi hinggap dalam bunga tidurku. Mimpi yang kadang membuatku berpikir berulang kali.

Aku membuka jendela kamar, angin malam yang dingin menerpa lembut tubuhku yang hanya terbungkus baju tidur berbahan tipis, sejuk. Sejenak aku menikmati kesenyapan malam dalam damai, sebelum aku melihat seseorang berdiri di balik pohon besar di sebrang jalan yang langsung menghadap jendela kamarku.

"Siapa dia?" aku bergumam, menyipitkan netraku, berusaha melihat dengan jelas seseorang berukuran mungil jika dilihat dari lantai dua rumahku. Sepertinya ia tak asing, tapi siapa?

Aku masih berkutat dalam pikiranku tentang seseorang yang terlihat tadi. Aku mencoba untuk melihat dirinya lagi, sayang, orang itu telah pergi entah kemana.

Ah, sudahlah mungkin hanya orang yang sedang berkeliling, pikirku. Aku menutup kembali jendela kamar, menatap jam yang berada di atas nakas, masih pukul 02.00 pagi, masih cukup untuk melanjutkan tidurku yang terbagun tadi.

***

Seperti biasa, kehidupanku sama seperti mahasiswa lainnya, hanya saja aku orang yang menyukai kesunyian, jadi tidak banyak orang yang aku kenal dan mungkin mereka juga tidak mengenalku, masa bodoh untuk itu. Setiap pergantian jam, aku selalu menunggu jam kuliah selanjutnya dengan memilih perpustakaan, keadaan yang sunyi dan sepi. Belajar? Tidak, aku menggunakan perpustakaan sebagai tempat paling tenang, tempat yang cocok untuk tidur siang. Jam tidur malamku yang berkurang, tentu aku menggunakan jam makan siangku untuk tidur.

Tidak ada yang istimewa di kampusku, hanya belajar, belajar, dan selebihnya bermain dan bersenang-senang. Aku kembali ke rumah saat senja sudah berubah sangat kemerahan. Panorama langit yang mengagumkan menurutku. Bulan Juli tahun ini ditempati dengan kekuasaan matahari yang sangat menyengat.

Setelah makan malam dan mengobrol dengan mama, aku memutuskan untuk ke kamar. Aku merebahkan tubuhku pada kasur empuk.

"Siapa?" Aku menatap jendela yang terbuka dengan sendirinya, angin berhembus kencang.

"Aku datang."

Aku terperanjat mendengar suaranya. Suara yang terdengar berat tapi begitu merdu untuk didengar. Aku mengedarkan pandanga, mencoba mencarinya. Nihil, aku tidak menemukan siapa pun di kamarku. Apa aku hanya berhalusinasi karena merindukannya?

"Kau merindukanku?"

Apa ia bisa membaca pikiranku?

"Aku datang karena kau memanggilku."

Tidak, ini bukan halusinasi atau gendang telingaku yang rusak. Dia benar-benar datang. Tapi dia siapa? "Apa maksudmu?"

"Aku disini sayang, kenapa kau berbicara pada angin."

Aku merasakan kulitnya yang terasa dingin menyentuh kulit perutku yang hanya memakai kaos pendek. Aku membalikkan tubuhku dan menghadapnya dengan senyum rupawan miliknya.

"Kau?"

"Benar, ini aku. Sudah lama tidak bertemu honey. I miss you so much." Ia mengendus helaian rambutku yang diambilnya. Aku hanya menatapnya, tidak dipungkiri jika aku juga merasakan sedikit rasa rindu itu. Ingat hanya sedikit.

"Kau siapa?"

"Bukankah kita sudah berkenalan waktu itu?"

"Justin?"

"Baguslah kau mengingatnya, Linzy." Ia menuntunku ke arah ranjang, merebahkanku di atasnya dan ia melakukan hal yang sama. Kami terlibat obrolan yang cukup lama dan baru aku ketahui jika orang yang semalam aku lihat itu adalah dirinya.

"Ini untukmu." Ia memberikan setangkai mawar merah padaku, mawar dengan aroma wangi yang sangat kuat. Aku suka wanginya dan menaruhnya di vas yang ada di nakas samping tempat tidurku.

Aku terbangun dari tidurku, menatap jam yang masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Lagi, mimpi itu terulang, setelah beberapa hari ini absen, kini mimpi itu kembali datang.

Aku bangun dari rebahanku dan berniat untuk mengambil air tapi gerakan tanganku terhenti saat aku melihat mawar merah itu ada di dalam vas, sama seperti dalam mimpi. Kejadian yang sama terulang kembali.

Sejak kejadian malam itu, aku mengalami hal serupa selama tiga malam berikutnya. Ia menyuruhku bersiap, tapi aku tidak pernah tahu alasan dari semua itu untuk apa.

"Kau sudah siap?" Aku terperanjat dalam lamunanku. Aku mengedarkan pandangan mencari sosoknya. Aku menemukannya sedang berdiri tepat di depan jendela. Ia melangkahkan kakinya padaku.

"Justin? " Aku menatapnya dengan heran. Ini sudah jam 11.00 malam dan aku belum tidur. Aku mencoba untuk mencubit lenganku, sakit. Ini bukan mimpi seperti sebelumnya. Ini nyata.

"Ini nyata Linzy, kau tidak perlu menyakiti dirimu untuk membuktikannya."

"Lalu selama ini apa?"

"Menurutmu apa?" Aku termenung dalam diamku. Aku berpikir kejadian yang menimpaku setiap malam ini apa? Tapi aku tidak menemukan jawaban yang bisa membuatku puas.

"Tidak ada waktu lagi Linzy, kita harus bergegas."

"Bergegas? Apa maksudmu, Justin? Dan siapa kau sebenarnya?"

"Pertanyaanmu akan terjawab jika kau ikut denganku."

"Tidak, sebelum aku mendapatkan jawaban siapa kau sebenarnya?"

"Kau ingin tahu bukan? Maka ikutlah denganku!" Beberapa kali aku menolaknya, hingga ia akhirnya dengan paksa menggendongku dan melompati jendela kamarku yang berada di lantai dua dengan mudah.

Aku terbang, tidak bukan aku, tapi dia yang membawaku terbang. Ia membawaku ke dalam sebuah rumah yang begitu besar tapi terlihat menyeramkan. Rumah ini terletak di tengah hutan, kurasa.

"Kau mau membawaku kemana, Justin?"

"Kau akan menjadi wanitaku, pengantinku."

"Tidak, aku bahkan tidak tahu siapa dirimu." Aku memberontak dan mencari jalan keluar untuk kabur dari sini. Namun, belum terlaksana niatku, kini aku sudah dihadang oleh puluhan orang berkulit putih pucat yang dengan tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku memundurkan langkahku, hingga membentur seseorang yang aku yakini dia adalah Justin.

"Bawa ia kemari Justin!" Justin dengan menggeretku paksa karena rontaanku membawaku kepada lelaki seusia papa jika ia masih hidup.

"Sudah tiba waktunya bagimu untuk menjadikannya wanitamu, Justin. Bulan purnama sudah datang, dan inilah waktu yang dijanjikan darinya untuk menjadikanmu seorang Alpha. Sekarang lakukan tugasmu." Justin memegangku dengan kuat, aku tidak bisa berkutik. Apa yang akan Justin lakukan kepadaku? Aku merasakan beberapa gigi Justin menancap di leherku dan perlahan menghisap darahku, sakit dan perih itulah yang aku rasakan. Hingga beberapa saat kemudian, ia menjilatnya dan aku rasakan perih itu kian menghilang, hanya saja aku merasa lemas dan menopangkan tubuhku pada Justin.

Sekilas aku melihat ayahku berdiri diantara sepuluh orang yang salah satunya menyuruh Justin tadi. Jadi selama ini orang yang hadir dalam mimpiku adalah seorang vampir, begitu pun dengan papa.

Justin sudah menjelaskan padaku secara detil alasan aku dijadikan takdirnya. Ayahku yang seorang vampir bangsawan menikah dengan manusia, sehingga menghasilkan diriku yang berdarah campuran dan hal itulah yang membuatku menjadi seperti mereka saat ini. meskipun ada rasa sesal, tapi aku tidak bisa berbuat apa pun untuk menghindarinya.

Dua Belas Waktu [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang