Juni - Ayana Kei

74 14 0
                                    

Lesung Kopi

Vee menyilangkan jemari. Wajahnya tertunduk, lesung di pipi telah menghilang sejak tiga puluh menit yang lalu, ketika aku mendatanginya di meja paling ujung.

Bukan masalah besar sebenarnya, ketika Vee memintaku menemaninya berdiam diri di kafe ini. Sudah menjadi hal yang biasa melihatnya menyeruput kopi putih, namun petang ini ada yang berbeda. Raut mukanya tegang, tak ada ketenangan atau senyum simpul yang menyenangkan. Aku merapatkan tangan.

"Benarkah?" tanyaku memecah kesunyian. Aku ingin tertawa semenjak Vee menceritakan kejadian yang sebenarnya, namun tertahan. Ini bukan lelucon lagi. Wajah Vee tak menampilkan kegirangan.

Ia mengangkat muka. Untuk kali pertama kulihat wajahnya lesu, matanya berembunkan kesakitan.
"Tidak perlu ditahan. Menangislah, Vee!"

Vee menatapku samar. Ada rasa nyelekit. Aku menarik napas pelan, membiarkan tangisan gadis di hadapanku pecah. Terpaksa kopi yang sedari tadi disuguhkan kuseruput saja, melegakan tenggorokan, merenggangkan dada, melepaskan semua beban yang tertahan.

Vee meremas jemariku. "Apakah yang aku lakukan benar, Ra?" tanyanya. Aku menelan ludah.

Ingin rasanya mengatakan semua yang berkecamuk dalam pikiran, mengenai perasaan senang tak kepalang. Rasa bahagia tak terkira akan kejadian lucu yang baru dialaminya. Namun semenjak melihat keresahan sikap Vee, semua kalimat itu hilang, tertelan bersama kopi hitam.

"Aku tidak tahu." Hanya kalimat itu yang keluar. Aku menunduk, Vee menggenggam jemariku lebih erat.

Ia kesusahan mengeluarkan kata. Putus cinta telah membuat gadis paling ceria di hadapanku itu melemah.

"Kumohon bantu aku, Ra," pintanya. Tatapan Vee tepat mengarah sasaran, menggoyahkan hati. Aku bahkan mengangguk pelan tanpa sempat berpikir panjang.

Petang itu, kopi putih telah menjadi bagian dari kesedihan Vee, dan aku saksinya.

***

Seminggu sudah, sesuai permintaan. Petang ini, di kafe ini lagi, meja paling ujung, denganku yang masih sama, bedanya hanya tanpa Vee. Gadis itu tergantikan dengan lelaki di hadapan yang menampilkan muka suka. Ia tampak gembira dengan kebebasan yang baru diraihnya. Bibirnya terus tertarik untuk menampilkan senyum terbaik. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara memandangnya sebab ia penuh kerumitan. Berkali-kali ia menceritakan padaku rencananya untuk memutuskan hubungan. Kuakui dulu sempat tertarik, menunggunya memulai hal yang berbeda, yang kukira akan membuat perutku berguncang tak dapat menahan tawa. Namun saat ia benar melakukannya, Vee adalah korban, dan aku tak bisa untuk diam.

"Ada apa denganmu?" tanyanya melihat sikapku tak seperti biasa.

"Aku rasa ini salah."

Ia masih menerka-nerka. "Apa yang salah?"

"Hubungan ini." Aku menelan ludah. Lelaki di hadapanku menggelengkan kepala.

"Tidak, Ra," ujarnya menahan diri, "ini yang paling benar. Jangan merusaknya, kumohon!"

Aku menatapnya lekat. Suara lelaki di hadapanku telah menggema, lelaki yang seharusnya menjadi milik Vee. Wajahnya mencari pemandangan lain. Jemarinya tak berhenti digerakkan, kegugupan mendadak. Aku meyakinkan suasana dalam keseriusan. Dengan raut kesal, ia menelan kopi hitam.

"Meski kopi itu pahit, kau tak akan berhenti menyeruputnya kan, June?" ungkapku, keluar begitu saja. Aku tak tahan melihatnya bahagia sedang gadis lugu itu terluka. Lelaki itu memandangku lamat.

Kepalanya menggeleng, menolak pikiran yang sempat terlintas. Aku meraih lengannya, berharap kalimat ini bisa memengaruhi. "Cinta itu pahit, semua orang merasakannya. Kehidupan juga pahit, semua manusia mendapatinya. Begitu juga yang paling pahit, diri kita, dan semua orang tak mau tahu tentangnya."

June masih menatapku lamat.

"Kita telah melakukan kesalahan. Aku seorang penghianat, June." Suaraku tercekat.

"Aku mengenalmu lebih dulu."

Aku menggenggam jemarinya lagi. "Aku tahu, tapi dia telah mengisi hatimu lebih dulu. Kumohon dengan sangat, kembalilah padanya."

June masih terbelalak, tak percaya pada keadaan. Ia melepaskan genggamanku, menyeruput kopi hitam, kemudian menyemburkannya ke muka. Lebur sudah, wajahku merasakan hawa panas. Ia berdiri dan berlalu tanpa menyapaku lebih dulu. Aku menunduk. Biarlah sudah, cairan hitam di wajahku telah menutupi seutuhnya. Menutup kebahagiaan, menutup kesedihan, dan menutup kemungkinan untuk terus menjalin hubungan bersama June. Vee lebih menunggunya, dan aku memahami itu.

Kopi putih milik Vee, telah memenangkan pertarungan rasa.

Dua Belas Waktu [Complete]Where stories live. Discover now