Agustus - Ayana Kei

98 22 2
                                    

Antan

“Yang klasik emang bikin asyik,” cetus Antan di sela-sela pengunjung yang singgah di museum.

Aku berusaha menyembunyikan wajah dengan menyampirkan syal biru tua dari pipi kanan ke sisi kiri. Berdesak-desakan di antara pengunjung sambil sedikit menjauhkan diri dari Antan. Berharap lelaki di depan mobil Chevrolet Chevelle SS itu tidak menyadari kepergianku.

Keluar rumah bersama Antan adalah momen terburuk. Lelaki berbadan kekar dengan kulit sawo matang yang menggiurkan itu memang tampak berwibawa jika dilihat sekilas. Bahkan berkali-kali teman perempuan sekelasku meminta dikenalkan dengannya. Tapi di balik sifatnya yang bijaksana itu, sikap Antan akan berubah semudah membalikkan telapak tangan saat bertemu secuil saja barang antik. Ia menjadi lelaki tak tahu malu. Tamat sudah riwayat orang yang bersamanya.

Antan masih antusias menjelaskan mobil yang mirip dengan mobil yang dikendarai Dominic Toretto dalam film Fast and Furious. Dia sekarang macam pramuwisata saja. Semenit kemudian ia berpindah posisi ke motor Vespa yang berjejer indah di depan gambar Koloseum.

“Motor Vespa ini … hei, hei.” Ia menyambar tanganku untuk mendekat ke motor yang lain lagi. Aku mengernyitkan dahi. Entah mata Antan sebening apa hingga dengan mudahnya menemukanku di tengah membeludaknya pengunjung.

“Tahu tidak?” tanya Antan.

“Tidak,” jawabku malas.

“Motor ini pernah dikendarai blablabla lho,” jelas Antan lagi.

Mohon maaf woi penggila barang antik, gue kagak peduli,” batinku.

Antan memang penggila barang antik. Saat menemukan sesuatu berunsur lawas, matanya tidak mampu ia kedipkan. Napasnya sudah terengah-engah setengah mati, tidak tahan mencium aroma barang yang menurutnya unik. Siapa yang tidak illfeel saat lelaki di sampingmu tiba-tiba meneteskan air luir sebab tak tahan godaan uang kertas Rp 100,-?

Aku pertama kali bertemu dengannya di bulan Agustus—setelah tujuh tahun kami tidak tinggal bersebelahan lagi. Mama menitipkanku sementara pada Tante Manta sebab Mama akan menemani kakakku yang baru diterima kuliah di Jerman. Mama tidak tega membiarkan anak pertamanya itu beradaptasi seorang diri. Kali pertama melihat rumah Tante Manta yang baru, aku terperangah. Bentuknya elegan seperti rumah tiga dimensi yang lain, tapi yang membuat bulu tanganku langsung berdiri karena ada banyak pot antik yang bertebaran di samping kursi ruang tunggu. Lukisan-lukisan aneh berjejer di dinding depan rumah. Bagasinya tidak diisi mobil pribadi tapi mobil-mobil keluaran tahun 1960-an, yang bahkan melihanya saja mengingatkanku pada si lucu Herbie. Nyatanya kelucuan itu hanya ada di film. Melihat mobil ini secara langsung membuatku serasa pergi ke masa lampau. Tante Manta membukakan pintu.

“Tante, siapa yang membeli barang-barang kuno seperti ini?” tanyaku tak sopan.

“Hehe itu!” tunjuk Tante Manta dengan malu-malu.

Tepat di sebelah mobil yang sedari tadi sudah kuamati, Antan berusia delapan belas tahun itu tidur beralaskan karpet yang tidak kuketahui tahun pembuatannya, kurang lebih seperti karpet ajaib milik Aladin.

Aku bergerak kaku. Seorang teman masa kecilku sudah seperti gembel di pelataran rumahnya sendiri.

Selama tinggal di rumah Tante Manta, aku menjaga jarak dari lelaki aneh itu. Satu-satunya kenangan yang kuingat saat Antan menjemputku sehabis menonton acara penutupan lomba 17-an yang diselenggarakan di alun-alun kota. Antan sudah berdiri di sebelah pintu keluar saat aku sampai di tempat. Aku langsung mengenalinya dari senyum simpul yang sama persis dengan milik Tante Manta. Ia mengusap rambutku yang lusuh.

“Maaf terlambat,” sahutnya lembut mengawali. Sangat lembut sampai kelembutan kain sutera saja kalah.

“Oh santai aja. Habis dari mana?"

“Mampir ke tempat favorit. Ini untukmu!” Antan menyerahkan gantungan kunci berbentuk singa, ada tulisan Leo di bawahnya. Antan menjadi orang yang perhatian. Hatiku tak bisa menahan diri untuk tidak melonjak kegirangan.

Dan semenjak kegirangan itu, malapetaka membututiku.

Antan salah mengira bahwa diriku juga penyuka barang antik. Akhirnya ia memaksaku menemaninya tour ke Malang untuk sekadar melihat koleksi-koleksi di Museum Angkut. Sekarang ia berdiri di sebelah pesawat lama, menatapku penuh makna. Ia mendekatiku yang sudah tampak bosan. Kali ini senyum simpul andalannya yang ia tampilkan.

“Kau tidak menikmatinya?”

Aku tertawa menahan perut, air mata ikut keluar tapi itu hanya pura-pura.

“Barang antik itu menyimpan kenangannya sendiri.” Antan antusias memperagakan perasaan hatinya. “Seperti kataku, yang klasik emang bikin asyik, kayak kamu, sudah cukup klasik di hatiku tapi tetep bikin—"

Wlek. Gombalannya membuatku ingin muntah.

Dua Belas Waktu [Complete]Where stories live. Discover now