PROLOG

32 0 0
                                    


Hancur lebur, kata yang terngiang di kepala si gadis desa ketika melihat itu semua terjadi. Bagai langit sudah tidak mau bersahabat lagi dengannya. Jeritan serta rintihan yang penuh rasa sakit dan amarah memenuhi tempat itu. Kepulan asap hitam itupun juga semakin menjadi-jadi. Dengan ekspresi yang kebingungan bocah desa itu seakan terjebak dan terperangkap dalam situasi ini.

Dentuman keras itu sangat memekakkan telinga, membuat semua orang yang mendengarnya berlarian tanpa arah. Barisan pria tinggi, tegap dan kuat membuat semua tertunduk dari tatapannya dan membisu seketika. Tumpahan cairan merah itu tersebar di sekeliling jalan setapak bagaikan rintikan hujan. Pemandangan yang sangat tidak menyenangkan hadir begitu saja. Pilu rasanya ketika melihat mereka terbaring tak berdaya dengan lubang di sekujur tubuhnya dan harapan yang hilang.

Gadis kecil itu mencoba untuk melepaskan lengannya dari genggaman kuat pria berseragam itu. Ketakutan dan keresahan terus-menerus menggerogoti dirinya. Tanpa berpikir panjang, gadis berambut hitam itu langsung mengerkah tangan yang menahan dirinya hingga membuatnya terbebas dari cengkraman lelaki itu. Dilangkahkannya kedua kaki itu dengan arah yang tidak pasti tetapi dengan satu tujuan yaitu tetap hidup. Sambil terisak-isak, bocah perempuan itu melalui jalan yang tidak seharusnya dilewati.

Hanya kematianlah yang memenuhi pikiran gadis kecil ini ketika melihat tumpukan itu saat pelariannya. Tanya demi tanya bermunculan di benaknya, apakah mungkin ada harapan baginya untuk tetap hidup? Pijakan yang dilaluinya basah oleh cairan merah amis itu dan kemudian melekat pada setiap alas kaki yang menginjaknya. Senja yang kemudian hilang ditelan oleh gelapnya malam menemani pelariannya kala itu.

Kala ItuWhere stories live. Discover now