30. Rindu yang Mulai Terkikis

2.4K 334 140
                                    

🌸
💐
🌸
💐
🌸

Empat puluh hari pertama pernikahan kami telah terlewati. Kata orang tua dan orang-orang zaman dulu, artinya kami telah berhasil melalui hari-hari kritis dalam suatu pernikahan. Katanya juga, empat puluh hari pertama itu, ujian rumah tangga akan begitu dahsyat. Entah mitos, atau memang demikian, tapi yang pasti, aku bersyukur bahwa kami telah berhasil melaluinya dengan baik.

Mungkin karena empat puluh hari pertama adalah masa-masa penjajakan untuk saling mengerti sifat asli pasangan masing-masing. Dan memang benar adanya, kali ini nggak ada lagi kami yang saling jaga imej satu sama lain.

Seganteng-gantengnya Mas Hanif, ternyata ada beberapa kebiasaan lucunya yang baru kuketahui setelah kami menikah. Misalnya saja, saat dia sedang tidur. Pada posisinya yang kurasa nggak mungkin terdistraksi dengan gangguan apapun, nyatanya Mas Hanif justru punya kebiasaan unik. Giginya saling bergemerutuk seperti orang mengunyah es batu. Agak ngeri sekaligus ngilu sih, takut saja kebiasaannya tersebut malah melukai gigi atau mulutnya. Tapi ketika kutanya bagaimana, katanya nggak papa, dan itu sudah biasa sehingga dianggap lumrah. Satu-dua hari pertama mungkin aku belum terbiasa dengan suara gemerutuk itu, sedikit merasa terganggu. Lain sekarang, justru aku nggak bisa tidur kalau nggak mendengar suara itu. Bak alunan simponi lulabi, aku merasa dininabobokkan oleh suara ketukan gigi Mas Hanif tersebut.

Seperti sekarang, aku masih terjaga ketika rasanya kantuk ini sudah mulai menyerang. Mas Hanif belum pulang dari rumah sakit, padahal ia sedang tidak ada jaga malam. Harusnya, kalau normal, pukul lima sore dia sudah di rumah. Bahkan biasanya kami pulang bareng dengan dia yang menjemputku di kantor. Sudah seminggu ini sih, kesibukan Mas Hanif semakin menjadi. Mungkin memang di rumah sakit sedang banyak pasien, apalagi musim nggak tentu kayak gini, sehari hujan, sehari panas benderang, menjadikan imunitas tubuh kadang nggak stabil.

Aku juga nggak berani tanya yang terlalu panjang, karena tiap kali Mas Hanif pulang, wajahnya sudah terlalu letih untuk kuintrogasi bermacam-macam. Esoknya, kami pun nggak sempat ngobrol banyak. Sekadar sarapan, kemudian Mas Hanif nge-drop aku di depan kantor dan dia cabut gitu aja. Bahkan kadang, Mas Hanif malah menitipkanku pada Ical, sedang dia memilih berangkat lebih pagi dengan melewatkan sarapannya.

Sejauh ini, aku berusaha mengerti. Menjadi istri dari tenaga kesehatan memang seperti itu. Sudah bukan rahasia umum bahwa kami memang harus siap mental untuk dinomor sekiankan ketimbang pengabdiannya kepada masyarakat. Pasien nomor satu, itu prinsip dari semua nakes. Aku kudu paham, dan harusnya mengerti akan hal itu.

Tapi, setelah kupikir-pikir, berat juga ya kalau intensitas pertemuan kami nggak lebih dari enam jam per hari. Itu pun, yang bisa ngobrol paling cuma sejam-dua jam, sisanya kami habiskan untuk tidur.

Aku sudah mulai berada pada fase, kok nelangsa ya kalau gini terus. Merasa bahwa menjalani sebagai seorang istri dokter itu lebih berat daripada istri para prajurit yang ditinggal dinas di medan perang.

Namun, semua itu ku kembalikan ketika Nadzira lagi-lagi menasihatiku untuk lebih legowo menerima keadaan ini. Bahwa hidup itu 'sawang sinawang', belum tentu ketika kita melihat orang itu tampak bahagia dengan pasangannya, kenyataannya juga demikian. Pun dengan diri kita sendiri, mungkin kita merasa hidup kita nggak cocok, pengin nyerah, atau merasa bahwa keadaan ini paling susah, tapi siapa yang tahu bahwa di luar sana jutaan orang sangat menginginkan posisi kita.

Alhamdulillah, beruntunglah aku selalu dikelilingi oleh orang-orang yang membawa positive vibes. Merasa disentil karena sudah kufur dengan nikmat yang Allah berikan cuma-cuma ini.

Tugasku kini hanya perlu menjadi support system paling solid bagi Mas Hanif. Semoga memang apa pun yang dilakukan di luar sana menjadikan ibadah dan yang terpenting di ridhoi oleh-Nya.

KALA RINDU MENYAPAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin