Part 8.1

13.3K 637 89
                                    


Daffa POV
Dia pulang. Tepat pukul setengah 8 malam. Dengan mata berbinar bahagia seperti tidak terjadi apa apa. Dia berjalan dari pintu masuk menyapaku hangat dan berlalu menuju kamarnya. Aku hanya diam melihatnya. Ah.. Apa yang lebih baik ku lakukan? Senyum ituu terlihat sama seperti senyum malam kemarin. Tapi kenapa dampaknya tidak sama untuk suasana hatiku?
Dia berjalan menuju dapur dengan kaos hitam dan celana pendek. Rambut sudah tergelung berantakan seperti hari hari biasanya. Dan aku hanya bisa menatap tanpa berani membuka topik dan bertanya. Tunggu... Fa?? Kamu mau nanya apa emangnya sama Icha?
Kalimat itu yang berputar dikepalaku selama melihat Icha memasak. Sampai akhirnya nasi panas ada di depan mejaku dengan mangkok lain yang berisi bayam, toge, wortel, kacang panjang rebus dan sambal kacang. Gak lupa di sebelahnya ada telur mata sapi kesukaanku. Ia menatapku penuh penyesalan sambil berkata "maaf fa.. Cuma ini yang ada d kulkas. Gapapa kan malam ini menunya nasi pecel sama telur ceplok? Ayam dan Dagingku abis."
Ia menapakan wajah sedih yang membuat senyumku otomatis terkembang.
"Kamu tahu aku gak terlalu pemilih soal makanan. Nasi pecel malah spesial banget. Aku kangen nasi pecel deket kampus dulu cha. Ma a cih ya chaa" Dengan riang gembira bertingkah seperti anak kecil. Berfikir ini bisa sedikit mencairkan suasana. Hahahaahah walaupun dalam hati aku tahu masalah ini secepatnya harus di hadapin.

Ia tersenyum mendengar jawabanku. Kami fokus dengan pecel tanpa diskusi diskusi konyol seperti malam kemarin. Kami sedang seperti menimbang nimbang mana kalimat yang baik untuk di mulai. Sampai akhirnya sebagai laki laki aku mengakui kekalahan telak karna dia yang mulai berbicara.
"Aku tadi makan nasi kare enak banget fa. Kamu kapan kapan harus nyobain. Gila banget deh gorengannya juara fa. Kamu musti nyobain kapan kapan sama Dinda. Ntar aku share loct in ya. Eh tapi dinda makan sehat ya? Gak mau santen dong ya? Duh yaudah jangan deh fa.. Ntar PDKTmu malah gatot. Berabe ntar." Seperti biasa, mulutnya yang kalau bicara tanpa titik dan koma sudah kembali.
"Yaudah ntar kapan kapan kita aja yang ke sana ya?" Jawabku menanggapi dengan antusias. Aku tidak mau perbincaraan ini berujung senyap seperti tadi. Topik ini harus menjadi penting.
"Iya... Ntar ajakin pak andre sekalian ya? Dia bilang mau nyobain soto betawinya." Ia menjawab sembari mengambil separuh kuning telur dari piringku.
"Kenapa sama andre muluk sih cha?"
"Ya gpp dong. Jomblo ini gue fa. Ada yang mau ngedeketin anak gadis gini yaa kudu yang manis manis lah sikapnya. Pepeet sampe dapet lah" Ia menjawab dengan nada bercanda tapi menyebalkan.
"Kok aku kesel ya kalo kamu bilang jomblo jomblo gitu." Enak aja udah jadi istri orang pengen ngepet cowok lain. Dasar emak emak.
"Samaaa.. Aku juga kesel kenapa harus banget jadi jomblo. Kalo gak jomblo kan gak bakal nikah sama kamu."
"Lhoh kamu nyesel nikah sama aku?"
"Lhah bukannya kamu yang harusnya nyesel sama pernikahan ini?" Icha mulai menunjukan ke tidak nyamanannya. Ah elah... Kenapa tadi harus bahas yang sensitif sensitif gini sih. Berantem lagi kan.
"Apa kita percepat yuk fa. Kasih aku waktu 2 hari aja buat libur dan impian kamu buat dapetin Dinda akan berjalan mulus semulus pantat bayi." Ia mengedipkan sebelah matanya genit.
"Lagipula aku liat Dinda udah ngasih sinyal sinyal positif kan fa? Udaaah langsung tembak aja!! Jangan ribet deh" Tuuh kan di jawab aja belum, dia udah selesai tiga kalimat sendiri.
"Terus pernikahan kita?" Ini hari apa sih kenapa perasaan gue campur aduk gini. Gak paham banget. Disatu sisi gue tahu gue cinta sama Dinda di satu sisi gue ngerasa ada yang salah. Icha menatapku heran dengan satu alis terangkat sambil menjawab
"Lhah ngapain dipikir? Dari awal juga ini cuma sementara kan?"
"Udah kayaknya emang lebih cepat lebih baik. Kamu terima jadi aja. Aku aturin semuanya. Perfect lah pokoknya. Ijin 2 hari libur ya tapi aku pak boss." 
"Baik deh jadi orang. Byee ganteng.. Aku ngantuk mau tidur." Ia meminum air putihnya cepat dan langsung berjalan kekamar. Tak lupa mandat emak emak itu ia teriakkan.
"Jangan lupa di beresin sama cuci piring." Beberapa menit setelah Icha pergi dia ngirimin gue WA.
Oiya masuk kamarnya agak nanti 1 jam dari sekarang ya.. Nonton TV duluu deh. Aku mau pinjem kamarnya duluu buat luluran. Kalo luluran di kamar mandi gak enak. Dingin. Ntar kalo aku atit kamu cedih lho.
Baik banget sih jadi boss.. Bye.

Yang cuma bisa gue jawab.

Iya nyonya. Take your time.

------------------------------

Icha POV
Berjalan sedikit cepat ke arah kamar.
Huuft aku punya waktu 1 jam untuk nata hati dulu sebelum ngadepin Daffa lagi semaleman di kamar. Aku butuh sendiri. Keliatan banget gak sih aku terusiknya kalo minta pindah kamar. Pemikiran pemikiran ini muncul berkali kali di otak. Boro boro luluran ini perasaan campur aduk banget rasanya. Aku butuh sendiri tapi takut ketahuan. Gimanapun dia sahabat aku, sedikit aja aku berubah sikap dia bakal tahu ada yang aneh. Dan hal buruk terakhir yang tidak aku inginkan terjadi adalah membuatnya merasa terpaksa harus ada di sampingku. Karna bahagianya dia entah dengan cara yang aku suka atau tidak suka adalah bahagiaku juga. Jadi cha, ayo lakukan ini dengan hati yang bahagia karna ini demi bahagiamu juga. Selalu akan ada satu pertanyaan dibenakku tentang apa gunanya perasaan ini atau Tak bisa kah kamu saja orangnya yang menjadi takdirku dan mencintaiku. Tapi mungkin memang bukan jalannya. Tuhan tahu apa yang kita butuh kan bukan apa yang kita mau. Dan Allah sudah sebaik ini membuatku jadi istrimu menemani sedikit hari harimu. Jadi jangan berfikir tamak cha. Nikmati porsimu cha.
Waktu tolong berjalan lah lebih lambat. Aku butuh menata hati. Otak dan nuraniku paham tapi hatiku masih sebodoh ini jadi tolong lah waktu jangan siksa aku dengan harus berpura pura sekarang. Karna di sini masih sesak rasanya. Huuft...

Dafa masuk kekamar setelah memastikan lewat WA jika aku sudah selesai. Seperti biasa malam ini aku berusaha tidur memunggungi Dafa. Tapi untungnya perasaan ini sudah tidak sekacau tadi. Please fa langsung tidur aja gak usah pake acara lainnya. Diem aja loe. Tiduur, batinku dalam hati.
"Cha?" Baruuu aja di batin fa. Sekali kali ngikutin gitu lho fa. Aku terpaksa menjawab tanpa merubah posisiku dan bergumam agar dia sadar aku sudah mengantuk dan tidak jadi berbicara.
"Kamu besok jadi cuti 2 hari cha?"
"Lha kamu jadi nembak gak? Kalo jadi nembak ya aku cuti." Aku mulai membalikkan badan menghadap wajahnya.
"Apa kamu mau aku cariin orang EO aja ya biar kamu ngurusin sama EOnya aja aku biar ngurusin kantor. Besok rabu kita ada metting sama pak Klo ya?" Ide ini sempat terlintas di benakku tadi karna berfikir daripada pusing mikirin suami sendiri mau nembak cewek lain. Mending mikir kerjaan trus acaranya gue oper deh ke EO.
"Gimana yang cepet aja fa. Pokoknya dalam 2 hari ini aku pengennya kamu udah resmi sama Dinda. Pacaran kek apa taaruf kek." Dafa mengernyitkan dahi heran sambil betanya.
" Kenapa buru buru banget sih cha?"
"Yaa biar kita cepet bebasnya. Kamu juga gak lama lama kesiksa tanggung jawab sama aku."
"Aku gak ngerasa kesiksa cha. Aku juga gak keberatan lho cha."
" Iya, akunya yg keberatan!! Gimana kalo aku jatuh cinta sama kamu!? Trus nanti egoku gak mau ngelepasin kamu!? Padahal aku tahu kamu cinta sama siapa. Aku ini sahabat kamu. Egoku gak akan bisa ngalahin persahabatan kita. Aku pasti ngelepasin kamu bahagia. Yaaa udah abislah aku ngerasain sakit di tinggal kamu karna cinta bertepuk sebelah tangan" Jawabku dengan nada tinggi. Aku sedikit terpancing emosi hari ini, padahal sudah berusaha kuat merasa tidak terjadi apa apa tapi ternyata bom waktu itu meledak sekarang. Ku mohon penyampaian ini aman. Aku mulai melembutkan nada bicara sembari menatap matanya sayu. Aku tidak ingin ia tahu.
"Aku cewek fa. Kita sahabat termanis yang pernah ada. Aku tahu kita sedeket jari telunjuk dan jari manis. Tapi sekarang jarak ini. Jujur jarak ini terlalu dekat. Jarak ini tidak aman fa. Percayalah, aku takut fa." Ia langsung mendekap kepalaku dengan satu lengannya. Mengelus rambutku yang terurai malam ini.
"Aku sayang sama kamu cha. Percayalah kamu gak akan ngerasain apa yang kamu takutkan itu. Kita sudah terlalu lama sahabatan. Besok atur sesuai keinginanmu. Aku ngikut kamu."
Maaf fa. Aku dan perasaanku yang egois ini merusak persahabatan kita. Aku ngerasain sakit itu sekarang. Sampe sampe aku ngomong gini ke kamu saking tidak pintarnya aku mengelola perasaan. Duuuh bodohnya icha kepancing banget sama emosi. Kenapa ngomong gitu sih chaaaaa.. Ampun deh!!! Icha bodohnya masyaAllah.

Hai temen2 niat awal mau menghapus cerita mumpung sepertinya udah sepi dan mau benerin alurnya. Tapi ternyata baru di delete beberapa part. Alhamdulillahnya masih bnyk yg nyari.
Mohon sabar ya ini endingnya dan alurnya mau di edit sedikit soalnya dan ini editannyaa..
Maaf baru dikit.. Ntar di lanjut lagi ya..
Makasih...

My Friend Is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang