#08: Keputusan

2.1K 136 0
                                    

Rencana Tuhan memang selalu indah. Kalian belum merasakannya, bersabarlah. Mungkin bukan sekarang. Tapi nanti, disaat yang tepat dengan orang yang tepat.

***

Fatimah POV

Entah mengapa kepalaku terasa sangat pusing dan berkunang-kunang. Aku merasa seseorang sedang mengelus puncak kepalaku. Aku mulai membuka kelopak mata dan kudapati Umi sedang disampingku.

"Umi." lirihku sambil berusaha membuka mata.

"Nak, kamu sudah sadar sayang?" jawab Umi sambil tersenyum merekah.

Aku masih terdiam, mengingat kejadian tadi malam. Oh Allah? berdosa kah aku jika aku membantah perintah orang tuaku untuk menikahiku dengan pilihan mereka? sungguh aku benar-benar merasa bersalah.

"Abi mana Mi?" ucapku mengalihkan topik pembicaraan dan melirik kesana-sini. Tidak kudapati Abi disana, hanya Umi sendirian menemaniku dan aku perlahan duduk dibantu Umi.

"Ada kok." jawab Umi sambil tersenyum.

Saat itu seorang lelaki paruh baya memakai jubah coklat dengan sorban di atas kepalanya masuk mengucap salam dan menitihkan air mata. Ia mendekatiku dan mencium keningku serta memelukku dengan kehangatan.

"Abi, Fatimah minta maaf dengan Abi. Fatimah merasa bersalah karena telah membantah Abi." lirihku sambil menitihkan air mata dan menenggelamkan wajahku di dada Abi.

"Abi yang seharusnya minta maaf nak, Abi salah. Tak seharusnya Abi sebagai pemimpin seperti ini." jawab Abi sambil menitihkan air mata.

"Abi, Fatimah akan menerima khitbahnya Dokter Adit Bi." lirihku. Sebenarnya terpaksa, namun aku tak ingin melihat Abi kecewa atas perlakuanku.

Kulihat, Abi dan Umi saling bertatapan. Mungkin masih tak percaya apa yang baru saja kuucap. Ya, ini gila. Tetapi tak ada alasan untuk menolak Dokter Adit. Ia nyaris tampan dan sholeh. Kalau soal cinta? bukannya cinta itu bisa dihadirkan dengan waktu? aku rasa itu bisa kualami nanti dengan Dokter Adit. Maafkan aku Rai.

"Kamu serius nak?" tanya Abi sambil menatapku dengan penuh keseriusan.

"Iya serius Abi, Fatimah menerima khitbah Dokter Adit." jawabku dengan senyum merekah. Senyum palsu yang kutunjukkan ke semua orang, senyum palsu seakan-akan diriku ini munafik di depan semua orang.

"Terima kasih Fatimah." ucap lelaki yang memiliki suara bariton itu. Ah itu Dokter Adit.

Aku hanya tersenyum. Ya, pasti kalian tahu senyumku saat itu seperti apa. Senyum antara terpaksa dan tak bisa menolak permintaan Abi dan Umi.

Ia menghampiri bedku dan mencium punggung tangan Abi dan Umi. Apa maksudnya? ah aku tidak mengerti ini. Aku hanya berdoa kepadaMu ya Rabb. Semoga ia yang terbaik untukku. Masalah rasa cintaku kepada Ustadz Raihan itu hanya Allah yang mengetahuinya dan Allah maha pembolak-balik hati hambanya.

***

Malam ini, keluargaku kembali kedatangan tamu. Kali ini berbeda, Umi sengaja sekalian mengajak makan malam keluarga Adit. Beberapa santri wanita membantu Umi dan Mbak Naira di dapur.

"Hanum! tolong ambilkan teh untuk santri di atas meja." kudengar teriak suara santri yang saat itu memerintah santri lainnya.

Seheboh inikah acara khitbahnya? Aku rasa ini terlalu megah dan mewah. Aku hanya tak ingin terlalu berlebihan karena itu bisa menyebabkan kesombongan atau tabarruj.

Cinta Halalku✔ [BELUM REVISI]Where stories live. Discover now