Tidak pernah.

Kadang ia merasa memanfaatkan Kim Yohan, menjadikan pemuda polos itu sebagai penjaganya—

"Wooseokkie?"

Yang dipanggil tersentak dari lamunannya. Ia mendongak dan Yohan sudah ada di hadapannya, tersenyum lebar.

—tapi senyum Yohan tidak seperti seseorang yang merasa dimanfaatkan.

"Melamun apa?"

"Eh?" Wooseok melotot. "Kucingnya?"

"Tuh sudah pergi."

Wooseok mengikuti arah yang ditunjuk Yohan, seekor induk kucing berlari-lari kecil dengan menggigit leher si anak kucing, membawanya pergi.

"Ketemu kan induknya. Bukankah aku selalu bisa diandalkan?"

Wooseok tersenyum tipis.

"Ayo kuantar pulang. Belanjaanmu banyak. Mentang-mentang mau liburan."

"Main saja ke rumah kalau bosan."

Yohan terpekur sesaat, menatap Kim Wooseok yang bangkit berdiri dari bangkunya. Tumben menawarinya main ke rumahnya. Biasanya hanya minta diantar sampai depan rumah. Main pun kalau ada urusan tugas.

"Ayo."

Yohan mengangguk dan mengambil satu tas belanjaannya. Ia mengulurkan tangannya yang bebas, meraih tas belanjaan yang dijinjing Wooseok. "Sini biar kubawa juga."

Wooseok tak memberikannya.

"Ada apa?"

Pemuda berambut kecokelatan itu hanya mengerucutkan bibirnya. Ia lalu meraih tangan Yohan yang bebas, menggenggamnya. "Begini saja." Yohan boleh jadi membatu. Selama beberapa saat ia berdiri mematung, sampai Wooseok menarik tangannya lebih kuat. Keduanya berjalan melewati beberapa mobil di parkiran—mencari mobil milik ayah Yohan yang ia kendarai hari ini.

Betapa Yohan ingin langkah kakinya tak akan membawanya cepat-cepat ke mobilnya.

Pertama kalinya, Wooseok bersikap manis begini.

Wooseok yang galak dan sangat ... tsundere.

Ia tersenyum.

Kalau saja tidak ada larangan berpacaran dalam geng mereka, ia akan berusaha sedikit lebih keras untuk mendapatkan hati sahabatnya ini.

"Ponselmu bunyi?"

Yohan mengangguk pelan. "Ada di sakuku."

"Mau mengangkatnya?"

"Nanti saja. Itu suara dering telepon dari Seungyoun."

"Seungyoun?" Alis Wooseok mengernyit. "Sabtu sore begini ada apa dia telepon?"

"Entahlah."

"Angkat saja." Wooseok melepas genggaman tangannya—namun jemari lentik itu terkungkung kembali dalam sepersekian detik.

Yohan meraih jemarinya lagi, memenjara buku-buku jarinya. "Nanti saja."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

...

Seungyoun menghela napas menyadari Yohan tak mengangkat teleponnya. Di mana sahabat sialannya itu saat ia sangat butuh bantuannya sekarang? Seungyoun mengetuk layarnya dengan setengah emosi, mengirim pesan pada Yohan, mengirim rentetan bom pesan yang sebenarnya isinya adalah permintaan tolong agar pemuda Kim itu mau mengunjungi Hangyul, menggantikannya.

Ryeon: Someone Named LoveOnde as histórias ganham vida. Descobre agora