Chapter 5

5.8K 650 15
                                    

Aku berjalan keluar dengan segera melepaskan wig di kepalaku dan Brady datang membawa mobil. Meminta aku langsung masuk yang segera kuturuti. Kaca mobil masih terbuka dan di sana aku bisa bertatapan dengan Tristan. Dia terlihat kepayahan mengejarku. Entah apa yang membuat dia harus melakukannya.

"Dia mengejarmu?"

Suara Brady membuat aku tersadar dari pandanganku pada Tristan. Aku dengan segera menguasai diri. Tatapan mata biru itu masih berpengaruh dengan sangat baik padaku. Kupikir setelah apa yang dia lakukan, akan mudah bagiku untuk setidaknya tidak terganggu dengan tatapannya.

Tebakanku salah besar. Aku masih sama. Kupukul bagian depan mobil dengan kesal. Merasa frustasi dengan diriku sendiri.

"Kau baik-baik saja?"

Brady kembali melontarkan tanya dan dengan nada yang agak ragu kali ini. Aku memandangnya dengan kesal. Apakah dia harus bertanya?

"Apa aku terlihat baik-baik saja?" Aku menunjuk diriku. Tepat di wajahku.

Brady berdehem. Mengabaikan tanya yang aku lontarkan padanya. Dia mungkin tahu kalau saat ini aku tidak membutuhkan gangguan yang tidak perlu. Terutama jika itu menyangkut Tristan dan mata birunya yang sialnya selalu saja membuat aku bergetar. Pria brengsek itu..

Aku menyandarkan kepala dengan pikirkan melayang ke segala arah. Jika tidak mau mati konyol di kota ini maka aku harus memikirkan baik-baik langkah yang harus aku ambil.

Tristan Harland sangat sulit di atas. Itu berlaku sejak enam tahun yang lalu dan masih sampai sekarang. Akan sangat bodoh menjadikan dia musuh karena aku tahu setangguh apa dia. Didikan bela diri telah dia dapatkan sejak belia dan aku penonton setianya. Yang dengan kurang ajar jatuh cinta padanya.  Jadi aku tahu kalau Tristan lebih baik di jadikan sekutu dari pada musuh. Aku belajar dari pengalaman.

"Aku tidak akan menunggu enam bulan untuk misi sialan ini, Brad. Sebaiknya dendam apapun yang kau miliki lakukan dengan segera. Jika kau ingin membunuh Geraldi Green maka sekarang saatnya. Kita bunuh saja langsung dia."

Usulku dengan mudah. Seolah aku tidak tahu saja apa rencana yang akan di lakukan Brady dengan memunculkan dirinya di sini.

"Jika membunuhnya saja cukup maka aku tidak akan ikut denganmu, Stefani. Aku tidak ingin membesarkan ini.."

Aku menatap Brad dengan kesal. Dia akan membahasnya dan itu tidak aku sukai. Tapi tidak kutahan dia karena sedikit sisa otak warasku ingin mendengar apa yang dia katakan.

"Tapi Tristan hanya masalalu dan seperti yang kau tegaskan pada dirimu. Ini hanya enam bulan. Enam bulan semuanya akan berlalu. Green mati dengan memalukan dan Andrew akan terbunuh di tanganmu. Hanya atasi perasaanmu, jika kau tidak bisa melakukannya maka semua akan sia-sia belaka. Enam tahun lalu semuanya akan terulang sekarang."

Aku mendesah sangat keras. Sesuatu yang menghimpit dadaku yang menyesakkan aku kini perlahan mulai membaik. Kini aku tahu kalau Brady cukup berguna untuk di bawa. Dia bisa membuat pandanganku terbuka.

Aku menepuk bahu Brady yang langsung terperanjat dari tempatnya. Membuat aku menahan senyum karenanya. Ketakutan meraja di dadanya. Dia si mulut benar tapi penakutnya membuat aku ingin melempar dia dengan sebaskom adrenalin.

"Kau benar." Pujiku.

Dia menahan senyum. Dengan sedikit selipan ragu.

"Jadi sekarang kita pergi ke Alhambra. Di sana kita memiliki janji temu bukan?"

Kali ini senyum lebar terangkai di bibirnya. Membuat aku memberikan dia gelengan tidak yakin.

"Aku akan mengantarmu ke ujung dunia sekalipun. Asal kau merasa lebih baik."

Aku tertawa mendengar segala lelucon buruknya. Tapi setidaknya dia membuat aku merasa lebih buruk.

***

Brady membuka pintu di depan kami. Aku sedikit terkejut olehnya karena dengan secepat kilat dia mendahului aku dan rupanya itu ia lakukan hanya untuk membukakan aku pintu. Aku memukul lengannya dengan kekonyolannya.

Kami memasuki tongkrongan di pusat kota. Melihat keseluruhan meja dengan mata awas karena sudah pasti orang yang menjadi janji temuku telah ada di sini. Semua orang tahu kalau aku benci dengan keterlambatan dan itu berlaku pada siapapun yang membuat kesepakatan dengan serikatku.

Waktu adalah uang dan aku tidak mau menghabiskan uangku dengan menunggu.

Sontak saja aku tertegun saat kulihat seseorang yang telah berdiri dari mejanya dengan senyum kearah ku. Tidak akan kupercayai pandanganku andai Brady tidak meletakkan tangannya di atas bahuku. Membuat aku tahu kalau apa yang menjadi pusat pandanganku adalah benar adanya.

"Ada apa?" Tanya Brady yang melihat aku diam di tempat.

Orang itu maju. Pria berkumis. Polisi yang dulu..

"April, jadi dugaanku benar. Ini kau."

Dia berujar dengan senyum yang terbit di bibirnya. Memandang aku dengan takjub. Oh tentu saja. Dulu dia melihatku seperti pecundang yang bahkan lebih buruk dari tikus got sekalipun. Kini di sinilah aku berdiri dengan pakaian dan penampilan yang bahkan akan membuat siapapun meneteskan air liurnya.

"Marley."

Kusebut namanya masih dengan pandangan tidak percayaku.

"Ya. Ini aku."

"Kau masih seperti yang dulu. Kemari dan peluk anakmu ini." Ucapku.

Segera saja Marley memelukku dengan erat. Menepuk punggungku seolah aku adalah apa yang sangat ia rindukan di dunia ini. Aku sendiri tenggelam dalam pelukan Marley. Pria yang dengan susah payah membuktikan kalau aku tidak bersalah.

Ya. Aku bebas karena kurangnya bukti ke arahku. Membuat aku bersyukur karena Marley ada saat itu untukku. Dia membantuku membuktikan diriku tidak bersalah. Walau pertemuan kami buruk tapi akhirnya bahagia. Marley juga yang membawaku keluar dari Granada. Membiayai segala kebutuhan penerbanganku. Kini aku bersyukur telah bertemu dengan dia. Bisa kubalas segala jasa baiknya padaku.

"Kau sudah besar sekarang dan aku menua. Tidak kusangka kau berhasil dalam hidupmu. Kau bahkan bergabung dengan serikat yang cukup terpandang di Sisilia. Apa yang membuat mereka menerimamu?" Tanya Marley yang sudah melepaskan pelukan kami dan menatap aku dengan mata takjubnya.

"Alasan yang cukup berkesan. Aku pernah mendapatkan harga mahal untuk kepala pemimpin serikatku. Dan hampir kepalanya terhidang di atas meja." Jujurku.

Marley terlihat menahan air ludahnya. Dia terkejut.

Sementara suara batuk di belakangku pastinya dari Brady.

"Oh siapa dia? Apa dia juga salah satu rekanmu?" Tanya Marley dengan wajah ramah. Dia memutuskan pembahasan kami mengenai serikatku dan aku. Sepertinya dia tidak akan membahasnya lagi.

"Dia hanya orang suruhan yang akan melayani aku. Tidak perlu pedulikan dia. Tidak penting juga. Jadi sebaiknya kita duduk saja, Marley. Ada hal yang harus kita bahas."

Aku bisa merasakan decihan di belakangku yang pastinya berasal dari Brady. Tapi aku tidak peduli sama sekali. Itu masalahnya karena memang benar dia hanya pelayan bagiku. Bagus dia menjadi pelayanku dan bukannya manusia bebas tanpa kepala.

Cinta Keparat - TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang