Chapter 3

5.8K 675 10
                                    

"Apa aku harus memakai wig dan segala macamnya ini?" Meringis aku melihat segala macam benda yang sudah di letakkan Brady di atas meja. Tidak kuasa hatiku melihat benda-benda itu, walau aku kerap menjadi mata-mata dan membutuhkan penyamaran untuk itu. Tapi aku tidak pernah tampil sebeda ini.

Aku mengangkat rok ketat sepanjang mata kaki. Kembali ringisan. Benda-benda itu hanya akan membuat gerakanku menjadi lambat.

"Bisakah aku datang apa adanya?"

Kucoba lagi membujuk Brady yang sedang sibuk membuatkan aku kartu nama.

Brady mengangkat kepalanya dan menjadikan aku sebagai objek intens matanya. Aku sendiri ikut menatap diriku. Aku hanya mengenakan hotpants dan tanktop bra yang memprlihatkan seluruh perutku.

Saat suara decakan Brady terdengar, aku mengangkat kepala ke arahnya.

"Dengan tampilan seperti itu?" Tanyanya dengan takjub.

Aku mengangguk antusias.

"Itu adalah hal terkonyol yang akan aku setujui. Jawabannya tidak."

Bibirku turun. Cemberut. "Kenapa?"

"Oh Tuhan, coba lihat dirimu."

"Aku sudah melihat diriku dan kupikir ini akan cocok. Aku bisa memakai celana panjang dan.."

"Tidak, Stefani. Kau akan menyamar jadi orang yang akan mewawancarai Alexandre dan bukan orang yang akan mengajaknya bercinta. Jadi tolong ikuti skenarioku ini. Bisakan? Hanya kali ini."

Brady setengah memohon membuat aku tidak bisa mendebatnya. Aku akhirnya mengambil benda itu dan melangkah meninggalkan dia dengan kesal. Tapi tetap saja aku mendapatkan senyuman terimakasihnya yang menyebalkan.

Setelah lengkap dengan segala kalimat yang harus aku katakan kami berangkat ke perusahaan utama milik Harland. Alexandre membangun bisnisnya dengan cukup baik hingga dia menjadi salah satu yang berpengaruh di Spanyol. Aku kagum padanya mengingat dulu dia sangat menyayangiku hingga insiden sialan itu terjadi.

Andai Brady datang di saat itu mungkin aku tidak akan memiliki catatan hitam.

Tapi aku tidak pernah menyesali hari itu. Karena hal itulah yang membuat aku berakhir menjadi seperti ini. Aku harusnya berterimakasih pada Tristan yang memasukkan aku ke penjara. Sayangnya aku tidak akan berterimakasih dengan senyuman di bibirku. Mungkin aku akan berterimakasih dengan belati yang menancap di dadanya. Itu adalah bayangan yang kerap ada di otakku.

"Ingat waktumu hanya setengah jam. Tristan memiliki janji temu dengan kakeknya hari ini. Jadi pergunakan waktumu sebaik mungkin."

Aku memandang Brady secara sinis.

"Apa?"

Kuputar bola mataku dengan kesal. "Kenapa kau selalu membuat kami bertemu? Kau bercanda bukan?"

"Makanya ku peringatkan untuk menyegerakan pertemuannya agar kalian tidak bertemu." Jawabnya keras kepala.

"Lalu kenapa kamu memilih hari di mana pria itu akan berada di sini?" Tanya memandang gedung yang membuat aku takjub.

Aku tidak pernah ingin tahu tentang Harlan dan perkembangannya. Tapi kali ini aku patut merasa takjub dengan apa yang dilihat mataku.

"Karena hari ini tepat saat Alexandre akan melakukan janji temunya dengan wartawan asal Paris. Kau pikir aku juga menginginkan pertemuanmu dengan Tristan?"

Aku mengibaskan tanganku. Keluar meninggal Brady. dan segala ocehan tidak pentinganya. Dengan tampilan yang sungguh merepotkan, aku berjalan bahkan dengan sepatu tinggi ini aku benar-benar ingin melarikan diri saja. Ini sungguh bukan diriku.

***

Setelah melakukan segala rangkaian kedatangan di resepsionis, akhirnya aku sampai ke lift di mana seseorang mengantarku. Aku harus memberitahu Alexandre kalau dia benar-benar buruk soal menyambut tamu. Dia membuat aku pusing sendiri.

"Lewat sini Mrs. Nandini."

Aku mengangguk dan mengikuti karyawan itu dengan tenang. Kami harus menelusuri bebera lorong dan sampai pada ruangan besar di mana ada satu pintu di sana. Wanita yang mengantarku telah pergi setelah menyerahkan aku dengan wanita lain yang aku duga adalah sekretaris Alexandre.

"Beliau di dalam Mrs. Nandini. Sedang menunggu anda."

Aku mengangguk dan menggumamkan terimakasih.

Aku lalu membuka pintu besar dengan dua daun pintu itu. Melihat ruangan Alexandre yang persis di tata dengan apik dan berwarna dasar putih. Sangat bersih sekali, hingga satu semutku akan terlihat kalau ada.

"Nandini?"

Aku menatap Alexandre yang sedang mendekat dari kursi kebesarannya. Aku berjalan ke tengah ruangan. Kami bertemu tepat di tengah ruangan besar miliknya. Dia mengerut menatapku.

Aku membuka wig dan kacamata bening milikku. Rambut coklat panjang milikku jatuh lurus ke pinggangku.

"Kakek."

Mata Alexandre melebar. Bibirnya terbuka dan aku yakin seribu kalimat ingin dia keluarkan tapi satupun tidak ada yang bisa terdengar. Dia sangat terkejut dan aku takut kalau dia akan kenapa-kenapa saking terkejutnya jadi aku mendekat dan memegang tangan tuanya yang gemetar.

"Kakek." Kusebut lagi panggilanku.

"April." Dia memegang tanganku dan bahuku. Seolah aku adalah khayalannya

"Ya, ini April." Kubenarkan dia. Aku tidak pernah lagi memakai nama itu. Kini nama itu kembali tersebut di bibirku.

"Kamu benar-benar April. Cucuku tersayang. Kemari, peluk kakek tuamu ini."

Aku mendekat Alexandre dengan erat. Memuaskan rasa rindu yang sama besar seperti milik Alexandre.

"Kakek tahu kalau kamu baik-baik saja. kakek selalu tahu. Walau tidak ada yang percaya, tapi kakek yakin kau akan datang suatu hari nanti. Kini segalanya terbukti kalau apa kakek dugakan benar. Kau telah kembali."

***

Cinta Keparat - TamatWhere stories live. Discover now