Lima - Dua Keluarga

Start from the beginning
                                    

“Ini bukan pertama kali Johan ke dapur, kok, Pa. Johan bisa kali masak enak mirip koki di restoran mahal.” Kedua pria beda generasi itu tertawa. Sedang, Linda memasang ekspresi tak suka. Ia tak ingin putra tunggalnya bersikap begitu memanjakan istri. Meski, bukan hal yang salah. Tetapi, ia ingin mencari menantu yang dapat mengurus Johan. Bukan sebaliknya.

“Pak—“

“Jangan panggil, Pak.” Dian menyemburkan tawa renyahnya tatkala mendengar Johan berbisik dengan Rin.

“Cocok dipanggil Bapak sama Rin. Usia sudah 29 begitu. Beda berapa tahun sama Rin? 10 tahun, ya?” ejek Dian.

Johan memanyunkan bibir dan merangkul kepala Rin. Dian malah tertawa keras lalu menggeleng-gelengkan kepala. Merasa tingkah putranya sangat tidak wajar terjadi. Ia baru melihat sikap itu kali ini dari putranya dan ia berterima kasih atas kesempatan melihat momentum berbahagia itu. Putranya telah lama menderita karenanya.

“Sudah, ayo makan."

Linda melerai sesi ejek mengejek di meja makan itu. Lalu menyendokkan seporsi nasi goreng ke piring Dian dan meletakkan lauk-pauk di sana. Saat ia hendak melakukan hal yang sama kepada putranya, seperti yang biasa ia lakukan tiap pagi, ia sudah melihat Rin mengangkat piring Johan dan mengambilkan beberapa helai roti untuk dioleskan selai coklat, kesukaannya.

“Kamu itu gimana, sih, makanan kesukaan suami sendiri saja nggak tahu, Rin.”
Mata coklat itu menatap ke arah Johan yang mengembuskan nafas, yang ia tak bisa memahami kenapa mamanya harus bertindak secara terang-terangan kepada istrinya. Johan tersenyum.

“Aku mau makan selai coklat, kok, Ma.”

Johan yang membalas tatapan mata mamanya, kemudian menyadari tusukan kecil yang terasa di pahanya. Itu berasal dari jari telunjuk Rin, ia menahan tawanya. Dan menatap istri belianya itu dengan pandangan bertanya, dan dibalas Rin dengan gelengan kecil.

Semua keromantisan pasangan baru itu tidak luput dari perhatian Linda dan Dian sejak tadi, Dian yang tersenyum geli dan sesekali menggelengkan kepala karena ia tidak pernah berada dalam lingkup sesi keromantisan awal pernikahan. Sementara Linda yang memilih untuk mengalihkan pandangan dan fokus kepada sarapannya. Ia tak suka melihat Johan semanis itu dengan Rin.

“Kamu mau langsung kerja hari ini?”

“Nggak usah, Ma. Biarkan saja Johan dan Rin menikmati bulan madunya. Masa baru kemarin nikah, sekarang Johan sudah masuk kerja.”

Itu pertanyaan Linda yang dijawab oleh Dian, bermaksud untuk menginterupsi segala sesi tawa-tawa kecil dan Johan yang sibuk memperhatikan Rin sejak tadi. Namun, Dian menangkap maksud itu lebih dulu. Ia tahu sebuah fakta di balik kecemburuan seorang mama kepada putra sewata wayang mereka itu.

“Biaya nikah itu mahal, kalau Johan nggak kerja lagi, memangnya Rin yang mau kasih uang buat hidup?”

Rin menunduk, meski uang tabungannya juga tak bisa dikatakan sedikit, tetapi melihat setelah mama mertuanya yang serba ditempeli dengan pernak-pernik merk mewah. Tentu saja, ia tak akan sanggup memberikan semua itu.

“Ma!”

Suara Dian meninggi.

“Biarkan Johan istirahat, Mama nggak kasihan lihat Johan tiap hari harus kerja, berangkat pagi pulang malam kadang nggak pulang demi mengurus berkas-berkas kantor?”

Kedua sejoli yang sudah menikah lebih dari tiga dasawarsa dan hampir memasuki fase pernikahan perak itu saling bersungut-sungut. Sedangkan Johan mengatur napasnya, ia tak pernah tak bosan mendengar semua cek-cok antara mama dan papanya itu setiap pagi. Mulai dari hal besar hingga hal remeh temeh sekali pun, tak luput dari pertengkaran mereka. Ia tak habis pikir, mengapa rumah tangga kedua orang tuanya itu mendadak tak harmonis setelah bisnis keluarganya menjadi sukses di tangannya.

Apakah harta adalah penyebabnya? Itu adalah sebuah kesimpulan terbaik yang ia ambil dari pertengkaran rutin mereka. Padahal andai hatinya mampu mengerti sebuah situasi tersembunyi, ia pasti akan lebih memilih untuk menghilang dari permukaan bumi.

“Kita jalan-jalan, yuk,” ajak Johan akhirnya menarik tangan Rin yang mulai dingin.

“Pak Johan, itu ….”

Johan menggeleng, tanda ia enggan membahasnya pada saat itu. Rin mengangguk mengikuti kemauan Johan, dengan langkah kaki yang mengejar langkah lebar pria halalnya itu pergi ke garasi. Ia berniat untuk membawa Rin pergi dari cecaran emosi buruk di pagi hari, terlebih ini adalah pekan pertama dari pernikahan mereka. Ia takut Rin menjadi lebih trauma kepada rumah tangga. Usia perempuan yang kini diam dan fokus menatap jalanan di kawasan hunian elit Ijen itu masihlah sangat belia, walau ia tahu hati perempuan itu telah mengerti situasi rumah tangga.

Namun, tetap saja, kehidupan dalam kepenulisan sangatlah berbeda dengan kehidupan rumah tangga yang harus dilalui Rin secara nyata. Ia tidak ingin hati belia gadis itu terdoktrin dengan ketidaknyamanan berumah tangga terlebih dulu.

“Turun, Sayang.”

Blush.

Johan tertawa, ia tak bisa menahan tawanya melihat pipi putih istrinya itu memerah--yang ia yakini, pasti karena panggilannya baru saja kepada gadis itu.

“Oke, kamu harus tutup wajah kamu. Aku nggak mau ada orang yang melihat kecantikanmu, lebih-lebih saat pipi kamu memerah begitu.” Johan berucap sembari menahan tawanya.

Rin memilih diam dan menunduk, membiarkan Johan merapikan french hijab yang dipakainya untuk memakaikannya cadar. Ia tak bisa membalas setiap ucapan Johan, karena jantungnya berdebum dengan kencang sejak peristiwa tadi pagi yang tak sampai terjadi karena ketukan pintu. Pikirannya tak bisa beralih dari dalamnya jelaga dalam mata Johan yang begitu kuat menariknya untuk tenggelam.

Namun, ia berhenti mengikuti langkah Johan ketika ia sadar di mana Johan membawanya. Ia mendongak, tepat, itu adalah tempat yang dikenalnya di salah satu sudut--pusat, sebenarnya--Kota Malang. Sebuah hotel yang mengambil dominasi nuansa kayu dalam tiap bangunannya, ia menelan ludah.

“Rin, kenapa? Are you there?”

Matanya menatap Johan. Ia tersenyum kikuk di balik cadarnya dan menggeleng kecil. Walau pipinya, ia yakin telah memerah dengan sempurna.

President suit, 3 malam, Mbak.”

Tangan Rin jauh terasa lebih dingin dibandingkan ketika ia takut di meja makan saat sarapan tadi. Ia jauh merasa lebih gugup daripada saat menanti dengar kalimat ijab qabul ketika di hari pernikahannya. Ia menjadi lebih terkejut melebihi saat ia mendapatkan proposal nikah di antara proposal kerjasama novelnya.

Kendalikan pikiranmu, Rin, ya ampun, apa yang kamu pikirkan?

“Mari, kami antarkan ke kamar. Apakah ada barang bawaan di bagasi yang bisa kami bantu bawa ke ruangan?” tanya resepsionis hotel dengan seragam batiknya. Dan seorang pria dengan seragam bermotif serupa, berdiri tersenyum di sampingnya.

Johan menggeleng. Lalu menggenggam tangan Rin, yang membuatnya mengernyit heran karena merasakan dingin juga keringat mengalir. Ingin ia tertawa, tetapi ia cukup menggigit bibirnya untuk tidak melakukannya.

“Silakan, jika ada yang bisa kami bantu, Tuan bisa melakukan panggilan intercom melalui telepon kabel di meja dan menekan angka 1.”

“Terima kasih.”

Setelah pelayan hotel itu meninggalkan mereka, Johan membuka pintu lebih lebar dan menyilakan Rin untuk masuk mendahuluinya. Ia menyaksikan sendiri betapa kaku gadis itu berjalan memasuki kamar terbaik di hotel yang telah berada sejak lama di Malang dan hotel paling dekat dengan Tugu Malang yang menjadi simbol sekaligus monumen Kota Malang.

Rin tidak melanjutkan langkahnya dan memilih untuk berdiri mematung dengan segala kesemrawutan pikiran dalam otaknya dan Johan yang benar-benar berusaha menahan tawa melihat Rin yang begitu gugup. Ia tak mengerti mengapa perempuan itu bisa berpikir demikian, meskipun tak ayal dia juga memikirkannya, mungkin melebihi yang ada dalam benak gadisnya.

Perlahan, ia menutup pintu kayu di kamar yang dipesannya tersebut dan berharap karsa dalam dirinya mampu menyapa Rin hingga merasuk dalam jiwanya. Sebuah rasa yang ia harap dapat bertahan selamanya, tak pernah ia lupa, dan ia idamkan setiap detiknya setelah perempuan itu menjadi miliknya. Tangannya menggenggam jemari tangan Rin perlahan, meraihnya dan membimbingnya, sementara tangannya yang lain meraih saklar lampu dan … klik!


_finairakara_

DEAR ALLAH, Why Always Me?Where stories live. Discover now