Lima - Dua Keluarga

290 25 4
                                    

Pernikahan yang terjadi bukan hanya menyatukan dua hati, dua insan. Tapi turut menyatukan dua keluarga, dua budaya yang berbeda, dan dua kehidupan. Johan menyadarinya, seperti hari ini, ia mengetahui masa lalu yang membuahkan trauma dalam diri Rin. Satu hal buruk yang membuatnya bertekad agar tidak melakukan hal serupa. Agar dunia anak-anaknya lebih baik dari dunianya kini. Itu harapan tiap orang tua.

Johan masih merangkul tubuh Rin, ia tahu bahwa waktu berlalu cukup lama saat itu. Tetapi, ia merasa jika waktu yang berjalan terlalu singkat. Rin sudah tenang dan tangisan telah berlalu. Namun, Johan masih enggan melepaskan pelukan. Johan merasa nyaman. Hanya itu alasan yang tepat untuk menjelaskan betapa lama diri memeluk Rin.

“Eghm!” Rin berdehem.

Wajahnya menengadah memandangi dagu berjenggot tipis Johan dari bawah. Johan tersenyum dan menunduk. Ia terhipnotis dengan mata coklat madu yang terasa memancarkan banyak sorot kasih sayang. Tanpa sadar dari kedua otak itu, kepala Johan menunduk makin dalam. Empat mata itu masih saling mengikat dalam tatapan. Seiring dengan makin kerasnya debaran jantung, wajah Johan makin dekat dengan wajah Rin.

Beberapa saat, kelopak mata kedua insan terlanda cinta itu memejam perlahan. Hanya beberapa sentimeter, sebelum … tok-tok-tok! Mata Rin berkedip-kedip dengan pipi memerah dan bibir mengatup erat—menahan tawa. Sama dengan yang Johan lakukan. Keduanya terkekeh. Johan melepaskan pelukannya dan mengusap tengkuk—salah tingkah.

“Ya?!”

“Sarapannya sudah siap, Den.”

“Makasih, Mbok.”

“Ya, Den.”

Johan dan Rin menatap sekilas, kemudian terkekeh kembali untuk kedua kalinya. Tangan kekar Johan merangkul pinggang ramping Rin. Mengajaknya untuk menuju ruang makan dan sarapan. Tetapi, sebelum ia membuka pintu kamar. Ia menatap serius, menjurus tepat ke mata Rin.

“Aku nggak mau kamu masak.”

“Ta—“

“Tidak ada penawaran.” Rin mengangguk, meski ia merasa berdosa telah menutupi sebagian kisahnya dari Johan. Ada hal yang tak bisa ia katakan kepada pria itu, terkait dengan dapur rumahnya. Ia menutupinya, dan ia merasa bersyukur karena Allah telah menutupi aibnya.

Linda dan Dian—papa Johan, terlihat duduk di meja makan. Seperti posisi sebelumnya. Terlihat pula beberapa masakan khas sarapan—roti tawar, selai, gelas berisi susu, teh, kopi, telur mata sapi, dan nasi goreng—tersaji. Johan menarik kursi untuk Rin, tepat di sebelahnya. Mata obsidiannya memandang isi meja.

“Kenapa, Jo?” tanya Linda yang melihat putra tunggalnya tampak mencari.

“Hmm, nggak, Ma.” Johan beranjak dari kursi duduknya, “sebentar, ya, Rin.” Wanita di sampingnya mengangguk. Walau ia tak mengerti apa maksud Johan.

Pria bertubuh tegap dan proporsional dengan kemeja biru pastel dan celana kain sepanjang hingga menutup lutut itu berjalan menuju dapur. Kedua orang tuanya memandang Rin penuh tanya. Bukan sebuah hal yang baru saat melihat Johan pergi ke dapur, tapi saat sarapan? Itu hal baru. Sementara, Rin hanya menggeleng sebagai jawaban.

Beberapa saat, mereka melihat Johan kembali dengan membawa sebuah cangkir berwarna coklat bergambar karakter dari stiker khas suatu aplikasi komunikasi, dikenal Brown. Senyuman masih terbit dengan lebar di sana. Ia duduk di kursi sebelumnya dan menaruh cangkir yang ternyata berisi susu sereal rasa coklat hangat di depan Rin.

“Kamu suka sama sereal rasa coklat, kan, untuk sarapan?”

Dian tersenyum lebar, “jadi untuk pertama kali kamu ke dapur saat sarapan, cuma buat seduh sereal punya Rin?”

DEAR ALLAH, Why Always Me?Where stories live. Discover now