Empat: Dunia Pembentuknya

292 25 0
                                    

Segaris cahaya lampu neon menembus celah-celah pintu yang tak pernah benar-benar menutup rapat meski terkunci. Melesat keluar dari kamar Rin menuju ruang tengah yang memuat televisi. Sebagai tanda bahwa ia telah bangun pada dini hari, kala lebih banyak mata terpejam; kala lebih banyak dengkuran daripada dzikir; ia terbangun dan bersiap untuk menunaikan kebiasaan sholat malam.

Selepas menuntaskan sebagian kecil dari sekian besar rasa rindunya kepada Kekasih sampai selepas Shubuh. Ia membuka kembali laptop yang telah menemani Rin menciptakan karya sejak bertahun lalu ia memutuskan memulai menulis dengan serius.

Hanya itu rutinitasnya di hari libur. Ia lebih senang berada dalam keheningan dan suasana sedikit gelap untuk menuliskan karya. Jendela tidak lupa ia buka untuk menggantikan udara pengap malam hari, dengan udara sejuk, hasil proses fotosintesis para tumbuhan, sejak dini hari ia terbangun. Tapi, sebuah panggilan dan ketukan tak sabar terdengar menggedor pintu kamar. Ia dengan segera menyahuti dengan membuka pintu itu cepat.

"Nggeh, Bu? Aku sudah bangun, kok."

"Aku hidup di sini sudah seperti hidup di alas. Banyak orang tapi nggak ada yang membantu. Keteteran dewe, semua dikerjakan sendiri. Nggak ada yang peduli. Gimana nanti kalau aku sakit?! Pasti semua nggak keurus," ucap wanita paruh baya dengan nada dan kalimat yang sering terdengar di telinga Rin setiap hari.

Ia mengembuskan napas dan mematikan lampu kamar. Rin beranjak dan segera ke dapur; mencuci piring kotor menumpuk. Padahal ia ingat jika, baru kemarin Rin membersihkannya. Tetapi, apa dinyana oleh otak pintarnya. Ia tetap mencuci tumpukan itu hingga tandas.

Segala kegiatan yang ia lakukan di pagi hari itu, masih dengan alunan suara memetir-metir dari wanita yang telah melahirkannya sebagai suara latar. Ia menerimanya dengan lapang, meski ada sebersit ketidaksukaan, tapi ia bisa menerimanya. Seperti sebuah mantra ajaib, kalimat itu benar-benar berhasil membangunkan seluruh penghuni rumah. Ayah; Kakak prianya; dan adik perempuan Rin. Padahal mentari sudah muncul di ufuk timur.

Kondisi tak mengenakkan telinga dan hati sudah menyambut acara bangun pagi segar mereka. Tetapi, semua sudah terjadi. Mereka cukup terbiasa dengan hal itu. Hingga, tanpa sadar jika pada masa itu, semua hal yang dilakukan oleh orang tua bisa memengaruhi psikis anak-anak mereka. Ya, memang hanya waktu yang menjawab segala perbuatan di masa lampau.

"Kok, ya, becik temen. Tangi iku sing isuk. Sengenge dukur. Tangine kalah ambek tangine petek."

[Kok, ya, keterlaluan. Bangun itu yang pagi. Matahari sudah tinggi. Bangunnya kalah dengan bangunnya ayam.]

Semua penghuni rumah hanya diam dan mendengarkan. Entah apa yang ada dalam hati mereka, tapi, hanya kediaman yang muncul. Rin memilih untuk menyelesaikan dengan segera pekerjaannnya. Lalu, menuju dapur untuk memasak. Kala itu usianya masih remaja SMA kelas 1 yang baru menjalani sesi orientasi, MOS. Mata sendunya melihat beberapa plastik berisi sayur-mayur. Ia mengolahnya seperti yang dilakukan oleh Ibu.

Setelah masak ia berkata penuh lembut, "Bu, sopnya sudah matang."

"Ya, sudah. Sarapan sana."

Rin mengangguk. Tetapi, ia tak melakukan aktivitas makan di pagi hari itu. Lebih memilih untuk mengambil gelas dan membuat susu sereal sebagai sarapan. Paginya hampir kembali tenang ditemani kepulan asap tipis dan aroma lavendel dari lilin yang dinyalakan. Tapi ....

"Sop, kok, begini?! Rasanya aneh."

Pupus sudah pagi ceria milik Rin. Ia tak sengaja mendengarnya. Sebuah kalimat yang diutarakan oleh Kakaknya. Sosok Kakak yang selalu berlaku tak patut sebagai seorang Muslim, Rin sendiri yang memergoki kelakuan bejat pria itu. Menyimpan banyak video porno dan gambar tak senonoh dalam laptop. Saat ia menceritakan pada Ibu dan Ayah, keduanya hanya diam dan memilih membahas topik lain. Berulang di hari selanjutnya, terjadi hal serupa. Akhirnya Rin memilih diam, saat kalimat pedas menampar wajahnya keras terucap dari bibir manis sang Ibu.

DEAR ALLAH, Why Always Me?Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum