+ngobrol

4.9K 819 191
                                    

Berdasarkan penelitian yang aku lakukan sendiri, jam pelajaran favorit pelajar Indonesia adalah jam pelajaran kosong. Walaupun saat jam pelajaran kosong kita hanya akan gabut dan nggak melakukan hal-hal yang produktif, tapi disitulah letak kenikmatannya.

Seperti anak kelasku yang siang ini sudah sibuk dengan urusan masing-masing persis ketika tugas yang diberikan pak Arif, selaku guru sejarah yang hari ini izin pergi ke dinas, selesai kami kerjakan.

Pekerjaan kami cepat selesai, bukan karena kami adalah murid yang rajin. Namun, lebih karena kelasku diisi oleh anak-anak yang ingin dapat nilai bagus tapi malas mengerjakan tugas membuat kami suka nggak suka akhirnya menganut sistem tugas bersama yang artinya jika kami mendapat tugas bersama-sama maka kami akan mengerjakan dan mengumpulkannya bersama-sama pula.

Contohnya hari ini ketika pak Arif memberikan tugas mengerjakan soal pilihan ganda berjumlah tiga puluh nomor. Maka kami hanya akan mengerjakan satu nomor sesuai absen dan kemudian menyatukan semua jawabannya sebelum disalin bersama-sama. Cerdas bukan? Kami jadi bisa menghemat waktu dan merasakan jam kosong yang penuh kegabutan lebih lama.

Dengan sistem seperti itu pula kami hanya butuh sepuluh menit untuk menyelesaikan tugas dan bisa menggunakan delapan puluh menit sisanya untuk bengong, tidur atau melakukan apapun yang kami suka.

Separuh dari isi kelasku sudah pada kabur entah ke mana dan sisanya memilih untuk tetap di kelas dan nongkrong di depan kelas yang paling hanya pada genjrengan gitar dan mabar PUBG. Aku dan beberapa teman cewek adalah tim yang memilih untuk menetap di kelas dan mengisi waktu kosong dengan bermain uno.

Kami duduk lesehan, melingkar di lantai bermain kartu uno yang biasanya tersimpan rapi di lemari penyimpanan barang di pojok kelas. Aku sudah menang empat kali dari lima kali permainan atau dengan kata lain aku selalu menang karena permainan yang ke lima masih kami mainkan. Namun, bukannya senang aku malah bosan dan mulai merasa jika permainan ini tidak lagi seru.

Menatap tidak minat pada kartu uno yang kupegang ditangan, aku membenarkan posisi duduk bersilaku. Barisan kartu berwarna kuning, biru dan hijau dengan angka dua itu sudah tidak menarik lagi. Aku benar-benar bosan dan ingin melakukan sesuatu. Sayangnya aku nggak punya ide harus melakukan apa.

“Gue udahan, ya? Bosen, nih,” kataku sembari menaruh tiga kartu terakhir karena sekarang adalah giliranku menaruh kartu sekaligus kembali mengokohkan diri menjadi pemain pertama yang kartunya habis.

“Udahan ajalah yang main. Gue juga bosen,” kata temanku yang lain ikut-ikutan menutup kartunya.

Akhirnya kami sepakat menyudahi permainan. Membereskan kartu uno itu dan kembali menyimpannya di sudut bawah lemari. Sehingga guru tidak bisa menemukan dan menyitanya.

“Eh, eh, tahu nggak ....”

Aku memutar bola mata malas ketika kalimat itu terlontar dari salah satu bibir temanku. Kalimat ini adalah kalimat awal yang menandakan kami akan mulai masuk kedalam WIG alias Waktu Indonesia bagian Ghibah.

“Apa? Apa?”

“Kalian tau Abin Narendra, ‘kan?”

“Abin Narendra yang kaya banget dari anak MIA itu?”

Aku yang sudah bersiap untuk beranjak langsung mengurungkan niat saat mendengar salah satu temanku menyebutkan nama Abin. Mendadak aku jadi merasa tertarik. Hm, sepertinya nggak ada salahnya kalau aku tetap di sini dan menguping pembicaraan mereka tentang Abin ini, kan.

Abinaya.(antares)Where stories live. Discover now