+perpustakaan

14K 1.1K 84
                                    


Perpustakaan sepi sejak aku masuk dua puluh lima menit yang lalu hingga aku menyelesaikan beberapa bab buku novel lama yang kutemukan di salah satu rak perpustakaan saat aku mengembalikan buku novel lain yang kemarin aku pinjam.

Aku meregangkan badan karena pegal duduk dalam posisi menunduk cukup lama. Sebelum bangkit untuk menyimpan lagi buku yang sedang kupegang, aku mengobservasi keadaan sekitar yang sempat terabaikan karena terlalu larut dengan bacaanku. Alia saja yakin walaupun ada tsunami yang akan menerjang saat aku sedang membaca, aku tidak akan sadar dan repot-repot untuk menghindar.

Perpustakaan sekolahku ini sepi sekali. Aku yakin tidak ada orang selain ... eh, tunggu, ternyata ada orang selain aku.

Seorang cowok berseragam sama sepertiku dengan kemeja pendek berwarna putih dan celana abu-abu. Rambutnya hitam dengan baju yang tidak dimasukkan terlihat kusut di ujung-ujungnya.

Jujur aku tidak mengenalnya. Karena ya ... murid sekolahku tidak hanya seratus, dua ratus, jadi tidak mungkin aku kenal semuanya. Toh, tidak ada manfaatnya juga kalaupun aku mengenal semua murid di sekolah.

Cowok itu sibuk menata buku-buku paket yang berserakan di lantai ke atas rak. Aku yakin dia sedang dihukum. Melihat penampilannya yang tidak rapi. Samar-samar aku juga mendengarnya memaki guru dengan berbagai umpatan kasar yang menambah keyakinanku akan hal itu.

Aku menatapnya lamat-lamat dari tempatku duduk dengan jelas bisa kulihat punggung kekar dan pundak lebarnya yang menggoda untuk disandari kaum hawa sepertiku. Aku mendadak lupa cara berkedip saat otot lengan atasnya yang terlihat di balik lengan seragam yang mengetat tiap kali dia mengangkat tangan. Bahkan aku bisa melihat dengan jelas urat-urat di punggung tangannya yang menonjol saat dia mengangkat buku dan menyimpannya rapi di rak.

Siapa sih, dia? tanyaku dalam hati. Bisa-bisanya mengambil fokusku dalam sekali pandang.

Jujur saja aku ingin bertanya siapa namanya. Tapi, gengsi, ah. Masa nggak ada sebab dan keperluan tiba-tiba aku hampiri dia dan tanya-tanya. Yang ada dia malah ilfeel duluan sama aku.

Yah, pada akhirnya setelah berdebat dengan diri sendiri aku memilih untuk tetap berada di tempat dudukku hingga pekerjaan cowok itu selesai. Setidaknya jika beruntung aku bisa lihat wajahnya, kan? Punggungnya saja ganteng apalagi wajahnya.

Sekitar lima menit kugunakan untuk pura-pura membaca buku dengan mata yang tak henti-hentinya melirik cowok tadi. Jantungku berdegup kencang diakibatkan efek takut akan ketahuan oleh cowok itu jika aku memperhatikannya sedari tadi.

“Anjir, selesai juga.”

Aku hampir kelepasan berdiri saat seruan lega itu menembus gendang telingaku. Untungnya aku tidak benar-benar melakukannya. Jika tidak, aku yakin dia pasti akan langsung memandangku aneh jika aku tanpa aba-aba langsung berdiri.
Suara decitan kursi yang cukup keras akan membuatnya menoleh lantas menyadari eksistensiku dan ya aku tidak ingin itu sampai terjadi.

Beberapa detik kemudian, cowok itu terlihat seperti berpamitan pada buku-buku yang sudah rapi ditatanya. Dia lantas langsung berjalan pergi ke luar dari jejeran rak-rak buku menuju pintu perpustakaan.

Sedangkan aku secara diam-diam masih memperhatikan setiap gerak-geriknya dari mulai mendorong pintu kaca perpustakaan hingga membiarkan pintu itu tertutup kembali. Dan saat itu, ketika dia berjalan di lorong depan perpustakaan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas hanya terhalang kaca bening setebal satu centi meter sama sekali tidak mengurangi kadar kegantengannya.

Aku lantas menutup wajahku yang entah kenapa tiba-tiba memerah dengan buku.  Senyumku mengembang di balik lembar-lembar cokelat pudar penuh tulisan. Dalam hati ribut sendiri,

Anjir, anjir, ganteng banget! fix jodoh gue!

Anjir, anjir, ganteng banget! fix jodoh gue!

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

[]

Abinaya.(antares)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu