+tanya alia

7.6K 912 112
                                    

Kurang lebih tiga hari aku bergelut dengan pikiranku sendiri. Ragu antara mau bercerita atau nggak dengan Alia tentang cowok di perpustakaan yang aku lihat tempo hari lalu. Karena ya, Alia pasti bakal menggodaku habis-habisan. Karena aku memang jarang mau mempedulikan cowok selain anggota boyband kpop asuhan Jype, Stray Kids.

Namun, akhirnya aku memilih menurunkan gengsi dan bercerita pada Alia tentang cowok itu. Walaupun aku tahu, bercerita pada Alia soal cowok mungkin akan jadi salah satu hal yang paling aku sesali dikemudian hari. Akan tetapi, ya, bagaimana lagi. Aku tetap ingin tahu namanya walaupun kemungkinan Alia mengenal sama cowok itupun nggak lebih dari nol koma nol nol satu persen. Toh, sebetulnya aku juga tidak berharap banyak, sih. Lagipula, aku belum tentu beneran mau petrus jakendor cowok itu juga.

"Masih suka cowok?" Adalah respon pertama Alia setelah aku bercerita jika aku baru saja bertemu cowok menarik di sekolah ini.

Aku menoyor kepalanya sebal. "Ya iyalah, babi!"

"Udah yakin, kan kalo itu manusia?"

"Kakinya napak, bego! Respon lo nggak ada yang lebih elit dikit apa?" Alia malah tertawa lebar menanggapinya. Cewek itu berhenti tertawa hanya untuk memasukkan potongan besar bakso ke mulut dan dia mengunyahnya dalam lima kali kunyahan.

"Ya, gue masih nggak percaya aja gitu lo bisa suka sama cowok. Gue kira selama ini lo naksir sama gue, Nay."

Seketika, aku langsung mendecak sebal, kemudian pilih sibukkan diri dengan cara mengaduk-aduk jus alpukat yang tinggal setengah. Alia yang tahu aku bete langsung menyelesaikan suapan terakhirnya dan mendorong mangkuk bakso itu menjauh.

"Iya-iya maap. Ganteng nggak cowoknya?"

"he'em," jawabku singkat karena terlanjur bete.

"Sama Kak Chandra?"

Aku kembali berdecak sebal untuk kedua kalinya, "kenapa harus dibandingin sama Kak Chandra?"

Alia mengangkat kedua bahu tak acuh. "Ya nggak papa, pengen aja."

"Al ...." Aku merengek sambil menarik baju Alia. Rengekan yang jelas bukan aku sekali. Lagi pula kapan seorang Naya pernah merengek? Ya, kecuali sekarang tentunya.

"Dipelet ya lo? Apa jangan-jangan tuh cowok pake susuk?" tuduhnya setelah melihat tingkahku yang amat berbeda dari biasanya.

"Sembarangan!" aku berseru kesal seraya mengangkat tangan untuk memukul mulut Alia, namun, dia lebih dulu menghindar.

"Orangnya gimana sih, emang?" tanyanya yang sudah jengah sekaligus sebal.

Senyumku langsung mengembang saat wajah cowok itu terbayang di otakku. Dengan semangat aku menjelaskan panjang lebar ciri-ciri cowok itu pada Alia.

"Ganteng. Tingginya seratus enam puluhan terus bajunya putih bersih walaupun berantakan karena nggak dimasukin. Rambutnya item belah samping agak acak-acakan tapi cukup rapi dan nggak gondrong. Alisnya tebal runcing di ujung matanya tajam banget dan dagunya juga. Tapi pipinya agak tembem, sih. Mukanya galak-galak dingin gitu. Tipe gue banget nggak, sih?" Aku menatap Alia bangga karena akhirnya aku berhasil menemukan cowok idamanku. Akan tetapi, Alia malah memandangku geli.

"Berapa lama lo lihatin dia sampe bisa jelasin ciri-cirinya sedetail itu? Nggak sekalian merk celana dalemnya lo kasih tahu gue?"

Aku membalasnya dengan kekehan pelan. "Besok kalo gue tau, gue kasih tau lo dah."

Alih-alih senang, cewek itu malah mendengkus mendengar balasanku. "Tapi tetep aja yang bentukannya begitu di sekolah kita banyak. Yang lebih umum, kek. Lagian gue aja nggak hafal bentuk alis, mata sama dagu gue sendiri. Gimana gue bisa hafalin punya orang?"

"Iya juga ya." Kenapa gue baru sadar? Dasar Naya goblok,hssss.

"Ini, nih, yang bikin gue malas nemenin orang lagi jatuh cinta curhat. Bego dikedepanin, sih."

Aku tidak menanggapi lebih lanjut sindiran Alia, memilih memandang ke atas menerawang langit-langit kantin kembali membayangkan sosok cowok itu. Berusaha menemukan satu hal mencolok dari observasi kecil-kecilanku selama lima menit diam-diam memandanginya saat di perpustakaan. Walaupun hanya dari belakang dan juga sekilas saat dia berjalan di lorong.

"Oh, inget!" Aku menggebrak meja pelan membuat Alia sampai terlonjak kecil dan mengelus dadanya sendiri karena kaget.

"Apa?"

"Dia pake jam tangan rolex, Al."

"Bangsat anak sultan," umpat Alia sambil geleng-geleng kepala saking nggak percayanya dengan fakta yang baru saja kukeluarkan.
Jangankan dia, aku saja nggak percaya dan baru sadar jika kemarin ditangan kirinya melingkar jam tangan rolex yangbharganya selangit.

"Iya, ya, anjir. Baru sadar." Aku mensedekapkan tangan di atas meja, abai pada kemungkinan gelas jus yang akan tumpah isinya karena terdorong oleh tanganku.

"Masih mau petrus jakendor?" goda Alia membuatku mendengus keras.

"Enggaklah, ya kali. Dia anak sultan, gue anak kentang." Tangan Alia terulur untuk mengelus bahuku sok bersimpati.

"Perbanyak sadar diri aja, ya, Nay. Babu nggak level suka sama majikan. Lebih baik mundur teratur dari pada malu-maluin diri sendiri."
Aku melempar tatapan sengit pada cewek itu karena mendadak merasa menyesal sudah bercerita panjang lebar padanya. Nggak dapat solusi yang ada aku malah kena hipertensi.

Abinaya.(antares)Where stories live. Discover now