+taman

4.4K 816 86
                                    

“Belum pulang, Nay?”

Aku menghentikan aktivitasku membaca buku untuk menoleh ke arah datangnya suara. Hampir kelepasan berteriak saat tahu siapa yang mengisi tempat di sebelahku. Namun akhirnya aku hanya menggeleng kikuk. “Iya, belum.”

Sumpah dari sekian banyak orang yang mungkin akan melontarkan pertanyaan itu padaku. Aku sama sekali nggak berekspektasi jika orang itu adalah Abin. Ya walaupun memang hanya pertanyaan basa-basi yang sebenarnya tanpa dijawabpun kita semua sudah tahu jawabannya. Tapi, nggak tahu kenapa kalau yang bertanya Abin, pertanyaan itu terdengar penting bagiku.

“Masih ada ekskul?” tanya Abin membuatku menoleh lagi ragu ke arahnya.

Ini Abin beneran ngajak ngobrol? Habis ngelakuin kebaikan apa sih gue hari ini. Lucky banget.

“Enggak, kok. Gue nunggu Alia.” Aku kembali memandang bukuku yang terbuka, “gue pulang bareng dia.”

“Tiap hari pulang pergi sama Alia?" tanya Abin lagi.

Aku menggeleng pelan. “Ini kebetulan motor gue dipake sama adek.”

“Lo punya adek? Cewek atau cowok?”

“Cewek, kelas dua SMP.”

Abin hanya membalasnya dengan ‘oh’ panjang. Memang dasar aku dibalas begitu saja sudah sangat senang. Maklum, karena awalnya kupikir setelah mengobrol pendek di depan kelas kemarin. Aku dan Abin nggak akan mengobrol lagi. Yah, aku tahu diri kok. Siapalah aku ini bisa secara resmi berkenalan dengannya saja aku sudah sangat bersyukur. Aku nggak ingin mengecewakan diri sendiri dengan berharap akan ada kelanjutan dari kisahku dan Abin.

Namun, hari ini entah Abin sedang dirasuki apa tiba-tiba menghampiriku yang sedang duduk sendirian di taman sekolah dan mengajakku mengobrol santai.
Boleh nggak sih kumasukkan momen ini ke dalam daftar 7 keajaiban dunia?

“Nay, mau jambu?”

“Random banget tiba-tiba nawarin jambu,” kernyitku heran. Walaupun sebenarnya itu cuma dalih untuk menyembunyikan kegugupanku semata.

“Soalnya gue pengen jambu,” sahutnya enteng.

“Emang kantin jual jambu?”

“Lo kira kantin kita pasar?” kekeh Abin yang kemudian menunjuk salah satu pohon yang berada tidak jauh dari tempat kami duduk, “itu di pohon kayaknya ada yang udah mateng.”

Aku mengikuti arah yang ditunjuk Abin dan menemukan sebuah pohon berukuran sedang yang berbuah cukup lebat walaupun sebagian besar buahnya masih tampak mentah. Ah, bagaimana aku bisa lupa jika taman sekolahku punya pohon jambu.

“Emang boleh diambil?” tanyaku seraya memandangi beberapa buah jambu air yang mulai kemerahan menggantung di ranting pohon. Menggoda banget, sialan.

“Emang ada tulisannya, 'Murid Dilarang Mengambil Jambu di Pohon Ini'. Enggak, 'kan?” Abin malah membalik pertanyaanku membuatku kelabakan menjawabnya.

“Ya, nggak ada, sih ... tapi, ‘kan ....”

“Nggak ada tapinya, Nay. Kalo emang nggak ada tulisannya ....” Abin berdiri dari kursi panjang yang kami duduki, “berarti ya boleh diambil,” lanjutnya.

Aku mengiyakan dalam hati karena sebenarnya Abin nggak salah juga, sih. Tapi, ‘kan tetap saja pohon ini punya sekolah, seenggaknya kami harus izin dulu 'kan kalau mau ambil.

“Emang gimana mau ngambil?” tanyaku masih berusaha untuk menggagalkan niat Abin yang mau mengambil jambu secara ilegal.

“Dipanjatlah,” jawabnya santai sembari berjalan mendekati pohon jambu yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami duduk.

“Heh! Nanti jatuh, Bin!” seruku panik. Lantas buru-buru berdiri, namun, belum sempat aku menghampiri Abin dan melarangnya memanjat dia malah sudah meloncat ke atas pohon mengabaikan seruanku.

“Udah lo tunggu situ aja, gue ambilin,” titahnya dari atas pohon yang mau nggak mau kuturuti membuatku mengalah dan duduk kembali.

Abin berdiri dengan menginjak dahan pohon. Semoga saja cukup kuat menahan beban tubuhnya. Kedua tangan berpegangan pada cabang pohon. Mata Abin meneliti satu-persatu buah jambu yang menggantung berusaha menimbang buah mana yang sudah cukup matang dan layak untuk dimakan.

Tidak butuh waktu lama Abin sudah meloncat turun dengan satu tangan memegang ujung bawah baju seragamnya yang dinaikkan ke atas untuk tempat jambu yang dia petik. Setelahnya dia berjalan cepat ke arah wastafel dan mencuci jambu-jambu itu.

Aku hanya menonton semua kesibukan yang dilakukan Abin dari tempat dudukku. Karena bukannya aku nggak mau bantu, tapi, ‘kan Abin sendiri yang minta aku buat tunggu di sini. Iya, 'kan? Kayaknya juga aku bakalan kelihatan sok akrab banget kalau tiba-tiba hampiri dia dan tawarin bantuan.
“Dua cukup, 'kan?’ Abin menaruh dua buah jambu air matang tepat di depanku. Segera dia kembali mengisi tempat di sampingku, “gue cuma ambil empat. Kalo mau lagi besok gue ambilin.”

Aku menggeleng sungkan. “Nggak usah, Bin. ini aja cukup. Makasih, ya.”

Abin membalas dengan anggukan singkat karena sudah mulai sibuk mengunyah buah jambu miliknya. Melihat Abin lahap memakan buah curian itu aku jadi kepengen juga. Bodo, ah, dosa. Toh, dosanya dibagi dua sama Abin.

Kress ....

Aku menggigit buah jambu yang sudah kubelah jadi dua menggunakan tangan.
Hmm ... manis banget, kayak yang metik.

“Lo sering nongkrong di sini, Nay?” tanya Abin memecah keheningan yang sempat mengisi karena kami sibuk makan.

“Lumayan,” jawabku sebelum mengambil botol air mineral dari dalam tas dan segera meminum isinya.

“Ini buku apa, sih?” Abin mengambil sebuah buku kumpulan puisi yang kutaruh di depan buku lain yang sedang kubaca.
“Hujan Bulan Juni,” eja Abin membaca cover buku itu.

“Itu buku kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono.” Aku ikut memandang buku yang Abin pegang, “tau?”

Abin menggeleng. “Enggak tau. Tapi kayak pernah denger namanya.”

“Sapardi Djoko Damono itu salah satu penyair Indonesia yang cukup terkenal. Hujan Bulan Juni juga 'kan ada filmnya. Pemerannya Adipati Dolken, Velove Vexia sama Baim Wong,” jelasku.

Abin manggut-manggut. “Oh, yang ada puisinya Cintaku Setabah Hujan Bulan Juni itu, ya?"

“Iya.”

Abin tidak menyahut lagi. Saat kutengok rupanya dia tengah sibuk membolak-balik halaman buku milikku. Dahi Abin yang berkerut bingung saat membaca beberapa baris puisi yang tidak dia mengerti maksudnya membuatku hampir kelepasan tertawa karena ekspresinya yang terlihat sedikit imut. Sangat kontras jika dibandingkan dengan wajahnya yang sehari-hari terlihat galak dan dingin.

Aku kembali menarik buku novelku yang sempat kuabaikan begitu saja. Sama sekali tidak berniat mau membantu maupun mengganggu Abin dengan buku kumpulan puisi di tangannya. Biar saja dia melakukan apapun yang dia mau dengan bukuku. Aku memilih untuk kembali tenggelam ke dalam novel yang sudah melambai-lambai minta dibaca. Namun, sekitar lima menit kemudian, aku kembali kehilangan fokusku membaca novel untuk kedua kalinya gara-gara Abin. Itu semua karena Abin yang tiba-tiba membaca judul salah satu puisi di dalam buku itu yang berjudul ....

“Aku ingin ....”

Diam-diam aku meruntuki diri sendiri dalam hati menyesal sudah membiarkan Abin membaca buku kumpulan puisi itu. Tidak ada yang salah sih sebenarnya. Hanya saja aku tidak menyangka jika Abin akan menemukan puisi itu dan memutuskan untuk membaca puisi itu ketimbang puisi lain yang ada di sana. Aku hanya bisa berharap Abin tidak berniat melanjutkan bacaannya.

Sayangnya harapanku tidak terkabul karena sepuluh detik kemudian Abin kembali membacakan puisi itu.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”

Aku lemas di tempat dudukku sendiri. Tolong, siapapun jauhkan Abin dari puisi-puisi romantis atau aku akan mati muda.

Abinaya.(antares)Where stories live. Discover now