11 | Our Family

311 51 8
                                    

jangan lupa tinggalin jejak berupa vote dan komentar <3

***

"Life isn't fun without struggle in it, but some struggles lead to tragic endings."

-From Allah To Aira-

Part. 11

AIRA tiba di rumah tepat pada pukul lima sore hari. Dia berusaha pulang cepat agar memiliki lebih banyak waktu luang untuk menjaga Tsana.

Sebenarnya, tadi Aira sudah ditawari lembur oleh manajer di staff-nya bekerja. Tapi, Aira tidak mengambilnya. Meski itu berarti dia akan kehilangan bonus pertamanya. Tapi tidak ada yang lebih penting dari pada Tsana di dunia ini baginya.

"Assalamu'alaikum," ucap Aira saat memasuki rumah.

Senyum tersungging di bibirnya saat melihat Tsana sudah duduk di kursi roda sembari menonton televisi di ruang tengah.

"Ibu, Aira pulang."

Tsana menoleh. "Wa'alaikumussalam. Wah ... pasti tadi Ibu nggak dengar salam anak Ibu nih gara-gara terlalu fokus nonton televisinya."

Aira tersenyum, menyalami Tsana dan mengambil duduk di sofa dekat Tsana. "Nggak papa, Bu. Aira justru senang kalau kondisi Ibu udah lebih baik. Ibu udah enakan, 'kan?"

"Alhamdulillah, Ibu sudah merasa jauh lebih baik dari pada kemarin dan tadi pagi," balas Tsana menarik senyum simpul. "Oh, iya. Bagaimana pekerjaan baru kamu? Lancar, 'kan?"

"Alhamdulillah, semuanya lancar berkat doa Ibu."

Iya, benar semuanya lancar. Meski dia harus menghadapi bos-nya yang galak itu di hari pertamanya bekerja.

"Itu semua karena Aira anak yang baik," balas Tsana. "Oh, ya. Apa pekerjaannya susah? Kamu kesulitan nggak?"

Menggeleng, Aira tersenyum lagi agar ibunya ini percaya. "Nggak sulit kok, Bu. Aira diterima di staff keuangan, jadi kerjanya nggak ngoyo. Tapi, ya ... begitu. Aira kudu hati-hati walaupun kerjanya cuma ngadep komputer doang, kalau selip nol satu aja, duit orang yang melayang."

Tsana terkekeh mendengarnya. Dia mengelus pundak putrinya. "Semangat, ya, anak Ibu. Ibu percaya sama Aira. Aira pasti bisa. Doa Ibu selalu menyertai setiap langkah kaki Aira, Kak Sandy, dan Kak Fika di mana pun kalian berada."

"Makasih, ya, Bu."

Tsana tersenyum simpul membalas ucapan putrinya. "Ya sudah, kamu mandi dulu gih. Setelah itu sholat ashar terus makan. Tadi Ibu masak—"

"Duh, Ibu ... 'kan Aira udah bilang, Ibu nggak usah ngapa-ngapain di rumah. Jangan capek-capek. Nanti kalau drop lagi Aira gimana?" cemas Aira.

"Nggak papa. Masak, 'kan, nggak capek, Ra. Ibu cuma duduk saja kok di depan kompor." Tsana tersenyum meyakinkan putrinya. "Ibu bakal hati-hati supaya nggak buat anak-anak Ibu khawatir lagi."

Aira menghela nafas pasrah. Apa Kak Fika belum pulang? Sebenci itukah kakaknya untuk bertemu dirinya sampai mengurus ibunya sendiri pun tidak mau.

"Lain kali Ibu nggak usah masak, ya. Biar Aira aja. Aira, 'kan, pulang kerja masih sore. Jadi masih ada banyak waktu buat masak. Ya, Bu?"

Tsana menatap putrinya dengan mata berkaca. "Maafin Ibu, ya, Ra. Ibu hanya bisa merepotkan kamu."

Aira menggeleng keras lalu menggenggam tangan ibunya. "Enggak. Ibu nggak boleh bicara seperti itu. Dulu waktu Aira kecil, Ibu yang merawat dan menjaga Aira sampai sebesar ini. Sampai Aira bisa seperti ini, karena Ibu dan Ayah. Sekarang sudah menjadi tugas Aira untuk merawat Ibu. Ya, Bu?"

From Allah To AiraWhere stories live. Discover now