Chapter 39 : This isn't dream

Start from the beginning
                                    

Robert masuk ke dalam sebuah kamar yang luar. Kamar itu sudah didekorasi se-cantik dan minimalis mungkin karena Gaby menyukai sesuatu yang minimalis dan simpel. Warna kamar itu juga sesuai dengan warna kesukaan Gaby. Peach.

Seharusnya ini menjadi kamar mereka ketika Gaby pulang nanti. Seharusnya kamar ini akan menjadi ruangan yang paling disukainya karena ia akan menghabiskan lebih banyak waktu dengan Gaby di dalam kamar ini dibandingkan ruangan lainnya.

Seharusnya ia bisa melihat senyum Gaby begitu melihat kamar ini. Seharusnya Gaby sudah pulang dan melihat kamar ini bersamanya. Seharusnya, seharusnya dan seharusnya!!

Dalam sekejap kamar itu berubah menjadi seperti kapal pecah. Robert mengancurkan semua barang yang ada di kamar itu. Ia memecahkan vas yang berisi bunga lily kesukaan Gaby, meninju cermin hingga membuat tangannya berdarah, membanting kursi ke meja hingga membuat kedua benda itu terbelah.

Seakan tidak puas dengan itu semua, Robert berjalan ke kamar miliknya ketika ia masih lajang. Di dalam kamar itu, ia menatap nanar ranjangnya. Di atas ranjang itu, ia memiliki Gaby seutuhnya. Di atas ranjang itu ia mencium dan memeluk Gaby sepuasnya. Ranjang sialan!!

Robert menghancurkan ranjang itu dengan beringas. Ia membanting semua benda yang ada di kamar itu untuk merusak ranjang sialan itu.

Ranjang itu akan selalu mengingatkannya pada istri yang paling dicintainya.

Penyangga ranjang itu sudah patah. Kasurnya juga sudah robek membuat kapas dan busa beterbangan di udara.

Robert tidak menghiraukan gedoran pintu kamarnya. Suara gonggongan Tullah pun seakan tidak menyadarkannya dari rasa sesak yang tetap ia rasakan di paru-parunya.

Cermin besar yang menampilkan wajah dan penampilan berantakannya seakan mengejeknya karena hidupnya begitu menyedihkan. Dengan segenap rasa sakit dan sesak di dadanya, Robert kembali meninju cermin itu dengan kuat menggunakan tangannya yang sebelumnya masih berdarah semakin mengeluarkan banyak darah.

Robert tidak peduli dengan darahnya. Ia tidak peduli dengan tubuhnya yang semakin panas karena perasaan yang hancur.

Ia menatap cermin yang sudah dihancurkanya dengan nanar. Cermin itu benar-benar hancur berkeping-keping. Beberapa kepingan cermin itu juga dialiri oleh darah yang berasal dari tangannya.

Bentuk cermin itu benar-benar sama seperti hatinya yang juga sudah hancur berkeping-keping. Robert menatap tangan yang digunakannya untuk meninju cermin itu. Darah masih mengalir dari lukanya. Serpihan-serpihan kecil cermin itu juga terlihat menanjap di punggung tangannya.

Tapi ia tidak bisa merasakan sakitnya. Karena seluruh perasaannya saat ini hanya tertuju ke hatinya yang hampa.

Sialnya, seberapa besarpun kemarahannya, sekalipun otaknya dan hatinya mengatakan kalau ia sudah ditinggalkan, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, masih ada harapan yang mengusiknya bahwa istrinya masih belum pergi.

Tidak! Itu bukan sekedar harapan tapi keyakinan. Keyakinan kuat yang mengatakan kalau istrinya memang tidak pergi darinya.

Suara dobrakan pintu membuat Robert menoleh. Ia melihat beberapa pelayan yang terkejut dengan tangannya, tapi mereka tetap diam di tempat. Berbeda dengan Tullah yang sudah berlari menghampirinya dan mengaum seakan merasakan kesedihannya.

Robert menatap Alec yang tengah menatap tangannya yang masih mengeluarkan darah dengan datar. "Bukankah aku menyedihkan?" tanyanya.

Alec mengalihkan tatapannya untuk menatap Robert. Namun ia hanya terdiam tidak sanggup berkata-kata.

"Aku kehilangan istriku. Dan itu membuatku kehilangan akalku...." lanjutnya. Sementara itu, Alec menyuruh semua pelayan maupun bodyguard untuk menjauh dari kamar Robert.

"Tuan..." Alec mencoba berbicara meskipun ia yakin kalau Robert tidak akan fokus karena lelaki itu masih 'menggila'.

"Aku menyedihkan kan Alec? Sekarang aku sudah tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang benar-benar aku cintai. Aku kacau dan hancur. Perasaan ini seperti mencekikku, membuatku tidak bisa bernapas dengan baik." Robert menundukkan kepalanya. Ia benar-benar sudah menajadi lemah sekarang.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar tidak sanggup kehilangannya..." lanjutnya hancur.

"Tuan, Anda harus ke rumah sakit sekarang." ucap Alec tegas.

"Aku tidak bisa."

"Tapi Anda harus ke sana sekarang untuk menemui Nyonya."

"Aku tidak bisa Alec. Aku tidak sanggup. Aku terlalu takut untuk menerima kenyataan."

"Tapi Nyonya ingin bertemu dengan Anda!"

"Aku ti..." Robert segera menegakkan tubuhnya dan menatap Alec nyalang. Ia menahan emosinya. "Apa maksudmu?" desisnya. Tak suka jika ini hanya akan menjadi gurauan semata.

"Ya, Anda harus ke rumah sakit. Beliau ingin menemui Anda, nyonya sudah sadar." Ucap Alec dengan mata berkaca-kaca namun senyum tulus tersungging di bibirnya.

Tidak perlu penjelasan lagi. Semuanya sudah jelas. Istrinya sudah sadar! Tuhan jangan jadikan ini mimpi, doa Robert dalam hati.

*****
Boleh tahu pendapat kalian tentang chapter ini?

Terima kasih masih setia dengan cerita ini 🤗🤗

Sayang kalian ❤️

Tertanda
JUSIANA MAHFUD 😚😚

COPYRIGHT © 2019 BY
J U S I A N A 9 7

D E S T I N YOn viuen les histories. Descobreix ara