Pletekan

4.3K 293 73
                                    

Aku suka sekali bermain petasan! Tapi petasan yang kumaksudkan bukan petasan sungguhan. Aku sendiri tidak tahu namanya apa. Waktu itu sudah pernah tanya Ibu, tapi jawabannya hanya berupa gelengan kepala dan angkat bahu. Tanya Bapak juga sama saja. Kalau kata anak-anak disini sih namanya ceplikan, eh, atau pletekan, ya? 

Bentuknya mencuat ramping dan agak tajam di ujung-ujungnya. Panjangnya lebih pendek dari ruas jari kelingkingku. Di dalamya ada banyak biji kecil-kecil. Yang masih muda warnanya hijau pucat, sama seperti ulat pohon mangga. Tapi pletekan muda ini belum bisa dibuat main petasan. Pletekan yang bisa meledak warnanya kecoklatan dan keras. Waktu itu Nadya, temanku yang tinggal di samping kanan rumahku, pernah hampir memakannya lantaran dikira biji kuaci. Untungnya Ibunya melihat dan lari tergopoh-gopoh lalu menghentikan aksi seram Nadya. Aku tidak bisa membayankan kalau pletekan tersebut meledak di dalam mulut. Hii...

Aksi bermain petasan kami hanya bisa dilakukan di hari-hari tertentu. Masalahnya, para orang dewasa di komplek rumah kami suka sekali membabat habis rerumputan serta semak belukar yang ada. Termasuk tanaman pletekan kami. Aku tidak mengerti mengapa petasan kami harus ikut dibabat. Lagipula, tanaman pletekan kami ini kan bunganya indah, tidak seperti belukar lainnya. Kelopaknya lebar dan tipis berwarna ungu kebiruan. Selain untuk main petasan, terkadang kupetik juga sebagai bahan masak-masakan.  Aku dan adik perempuanku, Della, sempat protes ke Ibu perihal babat-membabat yang dilakukan orang-orang dewasa di komplek rumah kami.

"Kan, jadi tidak bisa main petasan Buuuuu.."

Della merapatkan dagunya pada kaki Ibu, menengadah dengan tatapan memohon sampai-sampai dahinya berkerut. Ibu menghela nafas dan mengelus pipi Della. 

"Kamu mau nanti di rumah banyak nyamuk? Toh, minggu depan juga pasti sudah tumbuh lebat lagi kan, nak?"

Kata Ibu alam dan manusia harus seimbang. Tanaman Pletekan cepat sekali tumbuhnya. Kalau minggu ini dibabat, kemungkinan minggu depan sudah kembali lebat dan menjalar kemana-mana. Bapak juga bilang kalau terlalu lebat nanti jadi sarang nyamuk dan serangga. Sejak itu aku dan Della tidak pernah lagi protes perihal babat-membabat.

Biasanya aku, Della, Nadya, dan Pipi berburu pletekan di sekitaran rumah. Tanaman ini tumbuh subur di kiri-kanan jalan, dekat dengan selokan atau di pekarangan rumah kosong. Semisal di dekat rumah sudah habis dibabat, kami bersepeda keliling komplek sebelah. Kalau sedang beruntung, biji pletekan hasil buruan kami bisa memenuhi saku-saku celana. Tapi, yah, kalau tidak paling hanya satu dua saja dan digenggam sampai ke rumah.

Pernah di satu waktu kami bermain pletekan di halaman rumahku. Nadya sibuk menarik selang ke tengah halaman dan membuat genangan air di sana. Kami berempat berjongkok mengitari genangan air. Sebelumnya kami sudah hom pim pa untuk menentukan urutan melempar petasan. Pipi dapat nomor urut pertama. Della kedua, aku ketiga, dan Nadya keempat.

Tak ! Tak ! Tak ! Tak !

Satu per satu biji pletekan meledak dan terpental kemana-mana. Beberapa ada juga yang tidak meledak. Beberapa hanya terbelah tanpa meledak. 

"Ih ko punyaku ga meledak meledak sih"

Pipi melemparkan lima biji pletekan dan mendekatkan mukanya ke genangan air. Tiba-tiba, Tak!  Tak!  Tak!  biji-biji tersebut meledak. Salah satu kepingnya terpental mengenai mata Pipi. Pipi meraung-raung. Menangis keras sekali. Mengusap-ngusap matanya yang merah dan basah. Setelah kejadian itu kami sempat tidak bermain pletekan  selama beberapa minggu. Kalau bermain pun biji pletekan kami lempar ke genangan air. Kemudian tanpa dikomando kami lari sejaaauh mungkin.

Habisnya takut.  

  

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.





Semesta LembutWhere stories live. Discover now