4 | Awal dari Segala Takdir.

Start from the beginning
                                    

"Kamu belum cerita kenapa tadi pagi kamu senyum-senyum sendiri loh, Faiz!" tuntut Salman.

Faiz menghela napas dibuatnya. "Astaghfirullah, kamu ini, ya!"

"Lagian sih, aku 'kan penasaran. Habisnya juga, sikapmu aneh banget, gak kayak biasanya. Jangan-jangan ada hubungannya lagi, sama alasan kamu senyum itu. Iya nggak?"

"Mau kujawab iya, atau nggak?"

"Serius oi!"

"Maaf ya, Salman. Aku cuma bakal seriusin akhwat." kata Faiz, asal.

"Aduh!" Ia kemudian meringis, tatkala dahinya disentil oleh Salman.

"Kamu kok jadi nyebelin gini sih?! Bener-bener deh, sikapmu berubah banget. Tiba-tiba jadi aneh dan rese' di waktu bersamaan."

Faiz mendengus. Seaneh itukah kelakuannya? "Entar aja ya, pas udah nyampe. 'Kan nggak langsung mulai tuh, karena nunggu yang lain dateng dulu."

"Ampun, deh.. iya-iya. Terserah kamu aja. Tapi beneran loh ya, ceritain!"

"Gak janji, insyaaAllah."

"Hm."

Setelah beberapa menit berjalan, keduanya sampai di bangunan semacam rumah namun isinya sempit, tetapi terasnya amat luas sehingga digunakan untuk mengajar anak-anak mengaji dan hafalan Al-Qur'an.

Faiz dan Salman melepas alas kaki yang mereka kenakan, memasuki area Rumah Tahfizh sambil mengucapkan salam, yang lalu dijawab oleh murid lain yang sudah lebih dulu tiba juga pengajar yang ada di sana.

"Jadi …?" Salman kembali membuka percakapan.

"Tapi janji ya, jangan ledekin aku?!"

"Iya deh, insyaaAllah tapinya." Salman terkekeh.

Tak terlalu menggubris candaan temannya, Faiz memilih menyender pada dinding dan mulai bercerita, "Jadi tuh tadi pagi aku ngeliat ada perempuan yang ngebantuin nenek-nenek nyeberang jalan,"

Dahi Salman sontak berkerut. "Udah, gitu doang?!"

"Hm, iya,"

"Karena kamu liat ada perempuan yang ngebantuin nenek-nenek, kamu jadi langsung senyum-senyum gak jelas gitu?" Salman tergelak. "Terus kamu jadi suka gitu, sama dia?"

Faiz mendelik kecil. "Nggak sampe suka, cuma kagum aja."

"Beuh. Palingan juga entar lama-lama jadi suka beneran!"

"Yah.. kalau Allah emang menghendaki, mau gimana lagi?"

"Wess! Calon bapak ustadz mah, beda, ya?"

"Aamiin!"

"Tapi, dia seumuran kita?"

"Nggak. Masih MI, di Asy-Syafi'iyyah juga. Tapi gak tau kelas berapa. Kalo diliat dari badannya yang mungil terus mukanya yang masih imut gitu sih, kayaknya kelas tiga atau empat."

"Ciee, inget aja. Baru ketemu udah langsung muji gitu. Kayaknya kamu juga bakal punya panggilan tersendiri nih, buat dia,"

"Ha? Apaan tuh?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 04, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

[SHRS2] Mahmaa Hadats, Maa Zilat 'Ahbak | HIATUS!Where stories live. Discover now