1 | Pengkhitbahan.

153 11 6
                                    

S1 | Al-Haadhir : Masa Kini.

Rabbi, sesakit inikah rasanya jika berharap kepada hamba-Mu?
•Hani'ah Shafiyatu Lathifa•

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

•Hani'ah's POV ·on·•

"Saya ingin meng-khitbah putri Bapak,"

Aku terkejut mendengarnya. Bukan hanya aku, bahkan Abi dan Ummiku pun sama.

Aku menajamkan penglihatanku, berusaha melihat lebih jelas kepada seorang lelaki yang kini duduk di hadapan Abi.

Dan kulihat, Abi yang tadinya terlihat terkejut, mengubah ekspresinya menjadi seperti semula. Mereka tampak tengah berbincang-bincang. Aku tak dapat mendengarnya dengan jelas, karena kali ini suara yang mereka hasilkan agak pelan.

Tidak seperti tadi, saat lelaki tersebut menyampaikan tujuannya datang kemari, suara yang dihasilkannya lantang dan tegas.

"Oh iya, saya lupa bertanya.." Abi terlihat diam sejenak. "Namamu siapa, Nak?"

Tiba-tiba, jantungku berdegup dengan cepat. Apalagi setelah melihatnya tersenyum. Bukannya karena aku terpana hanya karena uluman senyumnya. Melainkan karena entah mengapa, aku berpikiran bahwa 'dia' lah yang saat ini datang untuk meng-khitbah-ku.

Tanpa sadar, senyuman pun terbit di bibirku. Rasa bahagia seolah menyapaku. Oh, Allah, maafkan aku karena telah berharap seperti ini.

Sebenarnya bisa saja bukan 'dia' yang meng-khitbah-ku, tetapi saat ini hatiku sedang menyebutkan namanya. Seolah memang 'dia'lah yang datang untuk meng-khitbah-ku. Aku tak dapat menerka-nerka, sih. Karena sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya.

Mengapa aku berpikiran bahwa lelaki itu adalah 'dia'? Karena dulu, 'dia' pernah mengutarakan perasaannya padaku. Aku pun memiliki perasaan yang sama dengannya.

Karena itu, aku merasa sangat bahagia jika lelaki yang meng-khitbah-ku benar-benar 'dia'.

Tunggu, mengapa ia lama sekali menjawabnya? Sedari tadi ia hanya diam dan tersenyum.

Ia pun menatap Abi, masih dengan senyuman yang senantiasa terulum di wajah rupawannya. Jantungku lantas berpompa semakin kencang, tubuhku gemetaran, senyuman di bibirku juga masih belum sirna.

Tak lama kemudian, ia menjawab; "Nama saya Faiz. Muhammad Faiz Alhusayn,"

'Deg!'

Dadaku sesak, hatiku nyeri dan perasaanku hancur. Air mataku pun terjatuh.

Mengapa harus ia? Nama yang ia sebut barusan; bukanlah nama yang kuharapkan selama ini, bukanlah nama yang kusimpan rapi dalam hati, dan bukanlah nama yang selalu kudo'akan pada Sang Illahi.

Rabbi! Apa yang harus hamba-Mu ini lakukan?

"Oh, Faiz, ya? Nama yang bagus," puji Abi padanya.

Aku melihat ke arah mereka lagi. Kulihat, lelaki tersebut tersenyum tipis. "Syukran," ujarnya.

Abi mengangguk, "Dan soal khitbah-mu itu, saya menyerahkan keputusannya pada putri saya saja. Tidak apa, 'kan?"

"Iya, Pak. Tak apa,"

"Mi, tolong panggilin Hani'ah!"

"Iya, Bi."

[SHRS2] Mahmaa Hadats, Maa Zilat 'Ahbak | HIATUS!Kde žijí příběhy. Začni objevovat