2

268 41 0
                                    

Aku terbangun saat mendengar pengumuman yang menyuruh semua siswa-siswi pergi ke cafetaria. Aku merapikan sedikit penampilanku lalu menguncir rambutku.

"Selesai," gumamku lalu keluar.



Baru saja aku melangkahkan kaki keluar, tanpa sengaja, aku menabrak seseorang karna tidak memperhatikan jalan.

"Maaf," ucapku singkat.

"Tidak apa," balasnya singkat.



Yang aku tabrak adalah seorang gadis yang—kalau aku tidak salah ingat, gadis itu sekelas denganku. Baru saja ia ingin pergi, aku langsung mencegahnya.

"Tunggu!" panggilku.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Ke cafetaria?" aku balik bertanya.



Ia mengangguk dan aku memutuskan untuk mengikutinya. Alasannya? Ah, nggak terlalu penting. Anggap saja aku takut tersesat.

"Valerie, Valeria Altezza," ucapku memperkenalkan diri.

"Trisha Canary, Trisha," balasnya ikut memperkenalkan diri.



Aku tersenyum simpul begitu pula dengan Trisha, gadis yang baru saja aku kenal ini. Kalau aku tidak salah ingat, saat istirahat siang tadi, dia makan sendiri. Apa tidak masalah jika aku mengajaknya makan bersama?

"Kamu sendirian?" tanyaku.

"Iya," jawabnya singkat.



Sesaat, aku bisa merasakan nada kesepian tersirat di jawabannya, itupun kalau aku tidak salah dengar.

"Mau makan bersama?" tanyaku menawarkan.

"Sungguh? Kamu mau? Maksudku, benar-benar mau?" ia balik bertanya, terlihat sangat antusias.

"Ya," jawabku pasti. Lagian, agak canggung juga kalau aku makan sendiri di cafetaria yang seluas itu. Bisa kebayang 'kan seramai apa di sana?

"Aku mau, thank you," ujarnya sambil tersenyum.



Akhirnya, kami pergi ke cafetaria bersama sambil sedikit bertukar cerita. Sampai di cafetaria, kami mengambil makanan, lalu memutuskan untuk duduk di dekat jendela. Kami sedikit mengobrol saat makan.

"Kamarmu nomor berapa?" tanya Trisha.

"115," jawabku sengaja tidak menyebutkan gedung. Jelas-jelas kami satu gedung asrama.

"Tidak terlalu jauh. Kamarku nomor 107," ucapnya.

"Mungkin aku akan bermain ke kamarmu kapan-kapan," lanjutnya.

"Kamu bisa datang kapan saja," ucapku menyetujui secara tidak langsung.

"Kalau begitu, malam ini boleh, dong?" tanyanya.

Aku mengangguk dengan seulas senyum tipis.

"Ayo lihat waktunya," ucapku.



Dia tidak seperti yang kupikirkan. Benar-benar jauh dari perkiraanku. Tadinya, kukira dia anak yang pendiam, namun ternyata tidak. Dia sangat asik dijadikan teman berbicara.

"Kamu tidak seperti perkiraanku," ucapnya tiba-tiba.

"Huh?" aku hanya memiringkan kepalaku sedikit ke kanan tanda aku tidak paham.

"Kukira kamu orang yang cuek dan sama seperti yang lain. Ternyata kamu berbeda," jelasnya.

Aku mengangguk pelan.

Magical Life (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang