7

113 34 0
                                    

"Kamu seharusnya merasa bersalah!" sindirku menatap tajam cowok menyebalkan itu.

"Cerewet," geramnya membuat kekesalanku bertambah dua kali lipat.

Walau begitu, ia tetap membantuku berdiri dan membawaku ke gazebo taman. Aku sendiri juga nggak menolak bantuannya. Hmm, setidaknya dia masih mau bantuin.

"Cukup?" ucapnya terdengar seperti pertanyaan yang aku jawab dengan anggukan kepalaku.

Beberapa menit setelahnya kami lalui dalam keheningan hingga dia membuka suaranya. Eh, mau juga dia buka mulut, toh. Kirain nggak.

"Sulur tanaman tadi, kamu yang kendalikan?" tanyanya.

"Iya," jawabku singkat.

Jujur saja, aku masih kesal dengan cowok yang satu ini. Sesaat kemudian, aku sadar. Aku belum tahu nama cowok ini. Sama sekali belum tahu.

"Hei," panggilku membuatnya menoleh. Ia mengangkat satu alisnya, seakan menanyakan -apa?-

"Kamu tidak berencana kita memanggil aku-kamu setiap kali bertemu bukan?" tanyaku.

Dia menatapku datar sesaat lalu menggelengkan kepalanya.

"Alan Louvel, Alan," ucapnya memberitahu namanya.

"Aku Trisha, Trisha Canary," balasku. Nggak etis kalau aku tahu nama dia tapi dia nggak tahu nama aku.

Alan, nama cowok yang langsung aku benci saat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku penasaran, apa dia itu sama denganku dan Valerie atau tidak ya? Kalau tidak, apa itu hanya imajinasiku saja?

"Hei Alan, air itu, apa kamu yang mengendalikannya?" tanyaku to the point.

"Kalau iya kenapa?" ia balik bertanya.

"Jawab aja apa susahnya sih!" kesalku.

"Iya, aku yang mengendalikannya," jawabnya pada akhirnya.

Aku mengerjapkan mata. Cowok di depanku ini pengendali air, serius? Kupikir dia pengendali es, lebih cocok soalnya.

"Kamu kelas berapa?" tanyaku lagi.

"8A," jawabnya.

'Valerie harus tau ini,' pikirku.

#Trisha pov's end

Alan berdiri membuat Trisha refleks menoleh padanya.

"Kemana?" tanya Trisha.

"Ke laut," jawab Alan kesal.

"Hah? Ngapain ke laut malam malam? Mau bunuh diri, ya?" tanya Trisha polos.

'Dasar cewek menyebalkan!' batin Alan kesal.

"Dasar bodoh! Apa gunanya malam kalau bukan untuk tidur, huh!" geramnya.

"Eh? Iya juga ya," ucap Trisha sambil menganggukkan kepalanya.

"Apa terkena dingin membuat otakmu itu konslet membeku dan berhenti bekerja?" tanya Alan mencibir.

"Tidak perlu menyindirku!" gerutu Trisha lalu mengalihkan pandangannya.

Kemudian, Trisha merasa sesuatu menyentuh bahunya. 'Hangat' pikirnya. Penasaran, ia kemudian melirik melihat benda yang saat ini menggantung di bahunya.

"Jaket?" gumam Trisha. Ia kemudian menoleh ke sampingnya dan berdecak kesal melihat Alan yang sudah tidak ada lagi di tempatnya.

"Jangan tidur di taman!" ucap suara yang di kenal Trisha dan sukses membuatnya bergumam kesal.

Magical Life (End)Where stories live. Discover now