Blurb

99 6 0
                                    

" Kal, mau coba sineteron romantis nggak? " Seorang wanita pertengahan empat puluh memberikan naskah bertuliskan Senja dengan huruf tebal hitam didepan wajah seorang wanita yang tengah sibuk dengan kopinya.

Air mukanya terlihat berbinar dengan penuh harap agar artis yang beberapa tahun dilayaninya menyanggupi permintaan itu.

" Kau tahu pasti jawabanya, Dew "

" Ayolah, sekaliiii ajaaa "

" Hanya aku berperan sebagai setan pun pendapatanmu masih yang paling tinggi, Dew "

" Ayolah, tolooong sekali aja, maksudku, penonton juga pasti penasaran wajah aslimu kan? Mereka juga pasti ingin liat kalo seorang Kala Jingga main sineteron romantis itu kaya gimana? Bukan hanya setan dalam film horor aja "

Kala menaruh cup kopinya dimeja samping kursinya.

" Jangan membuat kebohongan dengan cerita romantis yang membuat banyak orang berimajinasi tinggi tentang nilai kebahagiaan yang diukur hanya dengan sebuah rekayasa cinta "

Kening Dewi berkerut dalam, masih mencerna kalimat panjang yang sama sekali tidak bisa dimengerti oleh bagian kepalanya.

Dering alarm pada ponselnya mengalihkan pandangan Kala, ia segera meraih tasnya dan berdiri.

" Aku pulang " Ucapnya singkat lalu pergi begitu saja tanpa memikirkan manajernya yang masih mencerna kalimatnya barusan.

~Kala~

" Telat 2 menit "

Kala menghela napas, ini gara gara perbaikan jalan sialan yang membuat ia harus pulang terlambat, padahal Kala sudah berlari dari pintu pagar untuk mencapai rumah, tapi ternyata masih terlambat.

" Maaf " Ucapnya pelan, ia menunduk sambil berjalan menuju seorang laki laki yang tengah memotong tomat menjadi irisan tipis diatas meja dapur.

" Re... "

Kala memanggil lelaki itu dengan pelan. Tidak ada jawaban dan Kala tahu harus bagaimana.

Ia berjalan kesamping, memperhatikan wajah laki laki itu sembari dengan perlahan menggenggam sepasang tangan yang masih sibuk dengan irisan tomat yang tak kunjung selesai.

Tangan itu tidak bergerak digantikan dengan jemari Kala yang mulai menyentuh bulu halus disekitar dagu tegas si lelaki.

" Maafkan aku " Ucapnya sungguh sungguh.

Kala melangkah, menyelipkan tubuhnya mendekati pembatas meja dapur. Tangan lelaki yang sedang digenggamnya dilepas secara perlahan, memastikan lelaki itu tidak lagi menggam pisau, jemarinya yang lain diarahkan untuk menyentuh tengkuk lelaki yang sama sekali tidak merespon tindakannya.

Kala menatap lurus pada kedua bolamata hitam yang hanya memandanginya tanpa tahu apa yang sedang berputar dikepala si lelaki.

Kala sudah terbiasa. Sungguh.

Ia mencari arti tatapan itu, menebak apa yang dipikirkan namun tidak pernah berhasil.

Selalu berakhir dengan kekosongan.

Kala pun berjinjit, menengadahkan kepala dan mendekatkan bibirnya pada wajah si lelaki.

Dengan lembut diciumnya dua bibir yang tidak pernah sekalipun mengucapkan kalimat kasih padanya. Bibir yang hanya diam menatapnya. Bibir yang tidak pernah banyak bicara, dan kedua bibir yang mungkin tidak akan pernah bisa merasakan kehadirannya.

Kala menghentikan ciuman sepihak itu, menundukkan kepala kemudian memeluk tubuh yang sama sekali tidak pernah terasa hangat.

Sehangat apapun pelukan yang diberikannya, tubuh itu akan selalu terasa dingin, tidak akan pernah terasa seperti pelukan belasan tahun yang lalu.

" Maaf, sungguh tadi ada perbaikan jalan, lain kali tidak akan telat lagi, percayalah " Ucapnya lalu mengeratkan pelukannya.

" Regi... "

Kala kembali menatap.

" Sudah selesai? Minggir "

" Kau masih marah padaku? "

Tatapan dingin kembali menerpanya.

Kala tidak akan menyerah, ia kembali meperhatikan kedua mata didepannya. Tatapan tenang namun menyimpan banyak kemarahan dan pikirannya yang Kala pun tidak akan tahu isinya. Kala tidak pernah menyukai tatapan itu.

Ia melepas kancing kemeja yang dikenakan lelaki itu satu persatu kemudian membukanya secara perlahan. Kala kembali memperhatikan setiap detail keloid yang tercetak hampir disetiap inchi tubuh pria didepannya.

Kala menyentuhnya, merasakan bagian halus dengan permukaan kasar disekelilingnya. Entah berapa ratus kalus berbentuk angka romawi I yang tercetak disana, Kala bisa membayangkan sesakit apa rasanya saat pertama kali mendapatkan goresan luka itu.

Kala kemudian menengadah, menatap entah untuk kesekian kalinya iris hitam didepannya, ekspresi lelaki itu masih tenang seperti biasa, tidak terbaca.

Ia kemudian melepas mantelnya, membiarkan tubuh yang hanya mengenakan bra berwarna hitam itu tanpa perlu merasa malu. Sekali lagi. Kala sudah terbiasa.

Satu tangannya meraih pisau diatas meja dapur, membawanya untuk kembali di genggam oleh si lelaki.

" Lakukan dengan cepat, tolong " Pintanya sembari memeluk erat tubuh polos itu.

Kala memeluknya semakin erat disaat ujung pisau itu mengenai punggungnya. Rasa perih itu kembali datang diiringi dengan pekikan tertahan. Kala bergidik, memejamkan mata sambil mengeratkan pelukannya, satu goresan lagi dan ia akan terbebas.

~Kala~

KALAWhere stories live. Discover now