Bagian I

233 31 8
                                    

Adempauze /adem.pau.ze/ /adêmpauzê/ n Bld kesempatan untuk beristirahat.

***

Mencintai Kara selalu terasa mudah, pikir Bara. Seperti guguran daun mati yang senja itu melatarbelakangi senyumnya, memang sudah semestinya jatuh menuruti titah semesta.

Tapi kali ini, Kara dilatarbelakangi embusan angin pukul dua pagi, dan ia tidak tersenyum.

Bara tidak ingat pernah melihat Kara dengan rambut panjang diikat di belakang kepala. Repot, katanya, mesti diikat supaya tidak gerah.

Dan mau diikat atau tidak pun rambut panjang gampang dijambak. Bara nyaris bisa mendengar kalimat tak terucap itu dari matanya.

Sekarang, rambut Kara panjang dan diikat tidak keruan di belakang kepala.

Bara juga tidak ingat pernah melihat Kara sekurus itu. Dia suka pakaian yang dua kali ukuran tubuhnya, menyembunyikan bentuk badan aslinya dalam balutan sweter kedodoran. Lebih nyaman dipakai, katanya, tidak sesak.

Padahal Bara tahu di baliknya adalah tubuh kurus kulit penuh lebam.

Kara yang dilihatnya kini, bagai bagian diri Kara yang sebetulnya. Yang rapuh, yang tanpa sikap tubuh defensif, yang melepas sandiwara gembira, yang lelah. Yang hanya sekilas dilihat Bara pada malam-malam tertentu. Seperti kalau ia menemui Bara sehabis lari dari rumah. Di sana berisik, begitu ia selalu berkata.

Kara yang ini, seperti Kara yang didapati Bara jika ia melihat jauh melampaui alasan palsu ketidaknyamanan yang sering perempuan itu jadikan jawaban tiap Bara bertanya kenapa.

Kenapa selalu memakai baju tertutup dengan kerah tinggi, padahal hari sedang panas?

Kenapa memakai riasan wajah tebal, katanya kamu tidak suka?

Kenapa memakai kacamata hitam, ini sudah malam, lho?

Dan banyak kenapa kenapa kenapa yang lainnya.

Kara yang ini ..., Kara yang belum sempat menyembunyikan diri dalam topeng, yang tidak ia ketahui selalu dapat Bara lihat menembusnya.

Sudah empat tahun, pikir Bara.

Langkahnya pelan-pelan menghampiri Kara yang masih terpaku di tempat. Sejenak, Bara lihat Kara kebingungan, Bara lihat ketakutan di tubuh ringkih yang dirindukannya itu. Lalu Bara berhenti, memberi ruang, memberi kesempatan Kara untuk lari. Tapi Kara masih geming, jadi Bara kembali memangkas jarak. Dan saat Bara berhenti untuk yang kedua kali, cuma terpaut satu uluran tangan ruang di antara mereka.

Begitu dekat, pikir Bara. Dia bisa saja mengulur lengan dan merengkuh gadis itu ke dalam peluknya. Tapi Kara yang ini lain. Masih Kara yang sama. Tapi lain.

Dan Bara tidak pernah belajar bagaimana menyikapi Kara yang tanpa topengnya.

"Kara," kata Bara, pelan sekali sampai ia merutuk betapa kedengaran pecah suaranya.

Delapan belas tahun, Kara adalah penipu ulung yang meyakinkan semua orang dia pribadi periang dan cuma Bara yang paham diri sebenarnya.

Dua puluh dua tahun, Kara adalah enigma yang Bara tidak tahu harus dijabarkan bagaimana. Kara adalah sebuah kosakata baru yang tidak Bara pahami maknanya. Seakan-akan seluruh dinding kebohongan yang Kara bangun melingkupi dirinya luruh. Menyisakan emosinya, rapuhnya, dilumat habis oleh mata semesta.

"Hai," suara Kara sama bergetarnya, "Lama tidak berjumpa, Bara."

Lalu dia tersenyum hingga membentuk satu lesung di pipi kiri.

Yakinlah Bara bahwa perempuan di hadapannya benar-benar Kara.

Kara yang pernah begitu dekat dengannya, yang pernah sangat disayanginya.

Yang mungkin tidak pernah berhenti dicintainya.

***

Pukul tiga pagi.

Bara tidak tahu pasti, dia hanya menerka, memperkirakan waktu dari semburat warna di cakrawala.

Pukul tiga pagi. Kara dan Bara masih geming, duduk di ayunan tua yang setiap geraknya menghasilkan decit, menimbulkan ngilu pada telinga.

Empat tahun lalu, tempat itu masih terawat. Masih sering dipakai anak-anak bermain, dipakai muda-mudi menghabiskan sore. Dipakai Kara dan Bara melarikan diri dari kejinya malam.

Dua tahun lalu, tempat itu mulai ditinggalkan, digantikan taman bermain yang baru, yang letaknya lebih dekat dengan permukiman.

Bara melihat bagaimana setiap harinya tempat itu menjadi semakin sunyi, menjadi saksi tumbuhnya rumput liar, mengelupasnya cat jungkat-jungkit, hingga besi-besi ayunan yang kian berkarat. Ditelantarkan, dimakan waktu, dan tidak cukup dipedulikan untuk dirawat seperti semula.

Seakan membaca alur larinya pikiran Bara, Kara kemudian berkata, "Tempat ini banyak berubah."

"Empat tahun bukan waktu yang sebentar, Kara."

"Kamu betul," sahutnya. "Aku pergi lama sekali, ya."

Bara tolehkan wajahnya pada Kara. Gadis itu tengah menyapukan pandang pada seluruh sudut taman bermain. Pada kursi taman yang tingginya sudah disaingi ilalang, pada dedaunan kering yang menyelimuti lapang, pada grafiti di tembok pagar; hasil vandalisme masa muda mereka berkedok perbaikan seni.

"Lama sekali, sampai janjiku untuk tidak merindukan kamu tidak bisa aku tepati."

Kara alihkan tatap pada Bara, menyelami matanya, mengorek dusta yang mungkin terselip dalam kelamnya.

Bara nyaris takut ia melewati batas, tidak sadar mengatakan sesuatu yang kurang pantas. Tapi perempuan itu menarik senyum, yang tulus dan menimbulkan lesung di pipi kiri.

"Aku pulang, Bara."

***

25 Oktober 2019,
Alulalyriss.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 23, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Adempauze [ON HOLD]Where stories live. Discover now