Wall of Pictures

676 44 9
                                    

Pagi itu, Rana terbangun di kamar Rian. Dia dikejutkan oleh sinar matahari pagi yang menyelinap masuk lewat jendela saat membuka mata. Rana mendapati dirinya sedang berbaring di atas tempat tidur nyaman dalam ruangan bernuansa maskulin. Samar-samar, telinganya menangkap gemericik air dari arah kamar mandi di sudut ruangan. Alis Rana berkerut begitu dia menyadari Rian sudah tidak ada di sampingnya.

Pukul enam pagi. Rana melirik jam di atas meja di sebelah tempat tidur, lalu bibirnya membentuk senyum geli. Sepagi ini, Rian sudah bangun dan bersiap-siap. Lelaki itu benar-benar gila kerja.

Dia menyibakkan selimut yang membungkus tubuhnya, lalu bangkit dari tempat tidur. Bayangan dirinya tertangkap dalam cermin di seberang ruangan, lalu Rana meraskan wajahnya memanas karena malu. Saat ini, dia hanya mengenakan kemeja Rian yang kebesaran. Jantungnya berdetak sangat kencang dan hatinya berdesir begitu mengingat kejadian semalam.

Rupanya itu sungguhan, apa yang dia dan Rian lalui beberapa jam yang lalu.

Gemericik dari kamar mandi masih berkelanjutan. Sambil menunggu, Rana melangkahkan kaki perlahan menjelajahi kamar Rian yang luas. Selain tempat tidur, Rian memiliki seperangkat sofa berbahan kulit, meja kerja kayu dan rak tinggi penuh buku dalam ruangan tersebut. Semua dengan sentuhan gaya minimalis yang akhir-akhir ini sedang populer. Warna hitam dan abu-abu mendominasi dan sesekali biru tua menjadi aksen. Rapi sekali kamar itu, seperti jarang ditinggali. 

Rana melihat salah satu dinding kamar Rian dihiasi kumpulan foto berpigura dalam jumlah yang cukup banyak. Dia menghampiri dinding tersebut. Sejak memasuki kamar itu, dia sudah tertarik dengan kumpulan foto yang tergantung di sana, tetapi Rian membuatnya sibuk sepanjang malam sehingga dia belum sempat memperhatikan secara saksama.

Foto-foto pemandangan kota, rupanya. Paris. Rana bisa mengenalinya setelah mendekat. Begitu banyak foto yang tergantung di sana dan keseluruhannya adalah foto paris. Dia tersenyum sambil menggeleng-geleng. Begitu sukanya Rian dengan kota mode itu.

Kemudian, dia menyadari bahwa foto paris yang dia berikan saat pertemuan pertama mereka tidak terpasang. Rana menggerutu pelan. "Bisnis denganku lain, katamu?" katanya.

Dia berani bertaruh, pasti Rian lupa. Dan, benar saja. Foto Paris yang dia berikan itu masih tersimpan rapi dalam pembungkus kertas yang tergeletak di atas meja kerja.

Diambilnya foto itu, lalu dicarinya tempat di dinding di antara foto-foto yang lain. Saat itulah, sebuah foto tanpa bingkai menarik perhatiannya. Foto hitam putih sebuah kafe Eropa. Ada beberapa baris catatan di permukaannya yang ditulis menggunakan tinta merah.

The coffee was great and I loved the time we spent together at Le Rendez-vous del Belges.

Pesan itu mencantumkan tanggal lebih dari empat tahun yang lalu dan sebuah nama.

Rana terdiam. Tiba-tiba, dia kehilangan niat memasang foto di tangannya.

"Ada apa, Rana?"

Suara Rian membuyarkan lamunannya. Dialihkannya perhatian, lalu melihat Rian sudah keluar dari kamar mandi. Rana tidak menjawab. Dia kini merasa kesal. Sekarang, dia tahu alasan Rian begitu menyukai Paris.

"Rana?" Rian memanggilnya lagi.

Rana memaksakan segaris senyum tipis. "Nggak. Nggak apa-apa. Kamu sudah selesai? Aku mau pakai kamar mandi." ujarnya. Dia memasuki kamar mandi tanpa menunggu jawaban Rian. 

Dikuncinya pintu di belakangnya, lalu dia bersandar lemas pada pintu tersebut. Dia seperti terpaksa menyadari kenyataan. Konyol rasanya, bercinta dengan Rian di dalam kamar yang penuh dengan kenangan mengenai Meira.

Ah, dirinya kesal setengah mati.


*****

Bittersweet Love (Complete)Where stories live. Discover now