Reza

1.1K 57 2
                                    

"Yang bener aja, Rez. Siapa yang mau beli ide kayak gini?"

"Lho? kenapa?" Reza bertanya. "Ide kayak gini tuh udah umum banget di Belanda." Lelaki itu membela diri.

Kedua temannya, Idham dan Edwin tertawa mengejek. "Ini Indonesia, bro. Bukan Belanda. Kalau ide lo ini kita jadiin iklan, orang-orang Indonesia yang nonton gak bakalan ada yang ngerti," tukas Edwin.

Sudah hampir dua jam mereka berdiskusi di salah satu kafe di Cilandak Town Square. Bermodalkan laptop, white board ukuran sedang, bercangkir-cangkir kopi, dan rokok. Ketiganya sibuk membahas desain proyek iklan terbaru mereka. Namun, sampai saat ini belum ada satu ide pun yang mereka sepakati.

Perdebatan mereka sesaat berhenti waktu Salsa datang. Gadis itu menghampiri mereka dengan napas sedikit terengah. Salsa menjatuhkan ransel yang dibawanya ke lantai, lalu mengambil posisi tempat duduk di samping Reza sambil meminta maaf berkali-kali karena dia datang terlambat.

Idham melirik Salsa. "Dari mana Sal? Macet?" tanyanya.

"Ada kuliah tambahan dan aku udah bolos empat kali di kelas itu. Jadi gak bisa kabur lagi." jawab Salsa sambil meringis.

Salsa berusia lima tahun lebih muda dari pada Reza, Idham, dan Edwin. Dia memang belum lulus kuliah. Saat ini, sembari ikut terlibat dalam proyek iklan garapan ketiga lelaki itu, Salsa sedang menjalani semester keenam kuliah advertising di salah satu universitas negeri di Depok.

"Udah sampe mana nih diskusinya?"

"Kita sekarang lagi ngebahas proposalnya Reza." Idham menanggapi.

Salsa meraih laptop di hadapan mereka dengan antusias, ingin melihat desain yang dibuat oleh Reza. "Wow, keren Rez. Simbolisme tingkat tinggi nih!" ujar gadis itu.

Reza, tentu saja tersenyum senang menerima tanggapan dari Salsa. Lelaki itu menatap Idham dan Edwin bergantian penuh arti. "Nah kan! Salsa ngerti kan maksudnya."

"Yah... ini kan Salsa yaaa.. calon cumlaude." Edwin tidak terima. "Pendapat gue sih kita mending pakai idenya Idham. Cukup kok buat menangin tender."

Reza mendecak kesal. "Ah! ini nih yang bikin advertising di Indonesia gak maju-maju." tudingnya dengan nada sinis.

Edwin tidak mau kalah. Dia mencoba untuk menjelaskan, "Kita tuh Rez, lagi gak ikutan festival. Kita ini lagi nyari uang dan gue cukup ragu klien kita bakalan terima ide lo ini."

"Kenapa?" Reza mendebat lagi. "Karena mereka nggak ngerti? Iklan itu gak perlu dimengerti kali."

Pernyataan Reza membuat Edwin menghela napas, malas untuk meneruskan pembicaraan mereka. Lelaki itu tau betul tabiat Reza. Saat penyakit idealisnya Reza lagi kumat, nggak bakalan ada gunanya dia mendebat. Cuma bakalan buang-buang waktu aja. "Percuma lah diterusin." Edwin bergumam dengan kesal.

Suasana hening sejenak. Untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara di antara mereka berempat sampai Idham mengalihkan perhatian kepada Salsa, dan berkata "Sal, lo bilang katanya lo punya storyboard kan?"

Gadis itu tersenyum lebar saat ditanya sambil mengiyakan. Salsa membuka ransel miliknya yang tergeletak di lantai. Dia mengambil sebuah buku sketsa dari dalam tas itu, lalu segera diperlihatkan hasil kerjanya. "Coba kalian liat deh. Aku dapet ide ini di saat-saat terakhir."

Edwin meraih buku sketsa tersebut. Reza dan Idham merapatkan diri ke arah Edwin, lalu mereka bertiga mempelajari storyboard yang dibuat oleh Salsa dengan seksama. Ketiganya terdiam cukup lama, hingga akhirnya Idham memberi usul.

"Gimana kalau kita pakai ide nya Salsa aja?"

Edwin mengangguk. "Setuju." jawab lelaki itu. Reza pun tersenyum dan mengangguk sependapat.

Melihat reaksi mereka, mau nggak mau senyum di bibir Salsa pun mengembang. Gadis itu melepaskan tawa. "Aku hebat juga ya?" katanya, memancing tawa yang lain.

"Hebat? lo genius Sal!" Reza merangkul bahu Salsa dengan gemas, membuat pipi gadis itu menghangat. Semburat merah yang terlihat tetapi tidak disadari kehadirannya oleh Reza dan lainnya.

"Oke." Lalu, tiba-tiba Reza bangkit berdiri. "Kalau kita udah sepakat, kalian bisa mulai buat development design. Gue mau ke toko buku di depan dulu." kata lelaki itu. Kemudian dia beranjak pergi meninggalkan meja tanpa menunggu jawaban.

Edwin menggeleng-gelengkan kepalanya. "Selalu saja," katanya, "Begitu kita mulai masuk ke development design, dia pasti langsung pergi gak mau ikut campur."

Perkataan itu ditanggapi oleh Idham dengan tawa geli. Dia menimpali, "Itu kan memang bukan bidangnya. Reza itu pencetus ide brilian. Tapi itu saja yang dia bisa. Lulusan Belanda memang seperti itu semua."

Sementara itu, Salsa tidak berkomentar apa-apa. Dia memandang ke arah kepergian Reza. Semburat merah di pipinya belum hilang dan ada senyum yang tidak kentara di ujung bibirnya.

Edwin menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Salsa. "Hellooo Sal, lagi mikirin apa?"

"Ha?" Gadis itu terkesiap. "Oh. Emm.. a-aku berpikir emm.." Dia gelagapan mencari-cari jawaban. "Pasti enak yaa kalau punya banyak uang kayak Reza. Mau kuliah dimana aja tinggal pilih."

Idham menyahut, "Reza itu kuliah dengan beasiswa sal."

Dahi Salsa berkerut. Kerikuhannya menguap digantikan perasaan bingung. "Untuk apa anak dari keluarga Tanuan Wijaya kuliah pakai beasiswa?"

"Yah, Reza itu memang anak pemberontak." Edwin memberi penjelasan. "Dia berasal dari keluarga pengusaha yang tidak main-main. Tapi dia lebih memilih kuliah desain. Jelas kedua orang tuanya tidak setuju. Dan kalau bukan karena bakat yang dia punya, mana bisa dia kuliah ke luar negeri?"

"Hubungan Reza dengan keluarganya juga tidak membaik sampai sekarang. Sudah hampir setengah tahun dia keluar dari rumah." Idham menyambung.

"Ah, ya. Aku juga pernah sekali mampir ke rumah kos Reza di Kuningan. Mungkin kamar kos yang lo tempatin lebih besar Sal." Canda Edwin disertai dengan tawa kecil.

"Yang bener?"

"Beneran. Pokoknya gak ada yang bakalan nyangka deh kalau dia itu berasal dari keluarga Tanuan Wijaya."

Idham ikut tertawa. "Agak gila memang Wijaya yang satu itu." katanya.


*****

Bittersweet Love (Complete)Where stories live. Discover now