Rian

1.5K 71 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam lewat tiga puluh menit. Adrian Tanuan Wijaya. Rian, sepupu sekaligus atasannya di kantor, masih berada di ruang kerja. Belum ada tanda-tanda sama sekali bahwa lelaki itu akan keluar dari sana. Dan, Andrea hafal betul tabiat lelaki itu. Dengan mudah, dia mengambil kesimpulan kalau hari itu mereka kembali lembur.

Andrea beranjak dari ruang kerjanya sendiri, lalu mengetuk pintu dua kali sebelum masuk ke ruang kerja sepupunya. "Rian, proposal untuk rapat besok sudah selesai. Kamu mau periksa sekarang?"

Rian tidak mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas di atas meja. Lelaki itu menjawab, "Berikan saja ke Vino. Biar dia yang periksa. Tapi, tolong ingatkan dia, dan pastikan dia menyelesaikan proposal itu sebelum rapat besok pagi. Sebelum pukul delapan, proposal itu harus sudah ada di mejaku."

"Ada yang lain?"

"Apa kita sudah terima daftar harga dari Ray White?"

"Mereka sudah kirim tawaran lewat faks tadi sore. Sedang aku periksa."

"Oke." Rian membalas singkat, lalu mengakhiri instruksinya.

Andrea bertanya lagi, "Setelah ini, aku mau menelepon Boncafe. Kamu mau pesan apa untuk makan malam?"

Sepupunya itu tidak langsung menjawab. Perhatian Rian masih tersita oleh pekerjaan. Dia justru balas bertanya. "Kamu pesan apa?" seolah-olah lelaki itu bingung menentukan menu makan malam atau barangkali memang tidak mau ambil pusing.

"Lasagna dan tuna," jawab Andrea.

"Kalau gitu, sama."

"Oke. Kamu mau salad juga?"

"Boleh."

Andrea mengangguk. Sebelum dia keluar dari ruangan, Rian sempat memanggilnya kembali. Kali ini lelaki itu menatapnya sambil tersenyum masam. "Maaf ya Dre, lagi-lagi aku bikin kamu lembur," ujarnya.

"No problem yan.." jawab Andrea. Dia balas tersenyum.

Andrea dan Rian adalah sepupu jauh. Andrea memiliki sedikit saham di perusahaan keluarga besar Tanuan Wijaya. Karena itu, dia memutuskan untuk turun tangan langsung membantu dan bekerja sebagai asisten Rian yang memimpin salah satu anak perusahaan.

Bertahun-tahun bekerja dengan Rian membuat Andrea terbiasa dengan ritme lelaki itu. Rian adalah pengusaha yang penuh dengan ambisi. Lelaki itu tidak pernah segan untuk bekerja ekstra. Lembur sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Apalagi, sejak pertunangan Rian dengan seorang perempuan blasteran Prancis-Indonesia bernama Meira dibatalkan satu tahun lalu. Diam-diam, Andrea mengamati Rian seperti ingin membenahi kegusaran hatinya dengan terus menyibukkan diri.

"Andrea." Sebuah suara berat memanggilnya dan menghentikanya dari lamunan. Dia memutar pandangan dan benar saja, pemilik suara yang dikenalnya berdiri tidak jauh darinya. Adnan Tanuan Wijaya. Ayah Rian.

"Malam, Om." Andrea menyapanya sambil sedikit membungkukkan tubuhnya ke arah lelaki itu dan tersenyum. Usia lelaki itu di pertengahan lima puluh tahun. Tubuh lelaki itu masih tegap meskipun rambutnya sudah mulai memutih,

"Rian ada?" tanyanya.

"Ada di dalam ruangannya,"

"Kalian lembur lagi ya?" tanyanya lagi sambil tersenyum penuh arti.

Andrea mengangguk. "Oh iya, aku baru aja mau pesan makanan dari Boncafe untuk makan malam. Om sudah makan?"

"Belum. Sekalian pesankan steik untuk Om ya Dre," jawabnya lalu kemudian lelaki itu masuk ke ruang kerja anaknya.


*****

Ruang kerja Rian terletak di lantai lima Setiabudi Building. Melalui jendela kaca di samping mejanya, Rian bisa melihat dengan jelas lalu lintas semrawut di Jalan Rasuna Said, yang menjadi salah satu pusat bisnis Jakarta.

Barisan mobil di bawah sana terlihat seperti iring-iringan semut dari atas gedung. Dia tau, lalu lintas padat seperti itu nggak akan membaik sampai pukul sembilan malam nanti. Makanya, terkadang dia lebih memilih duduk di ruang kerjanya, lembur sambil menunggu suasana jalanan berubah sepi.

"Bagaimana persiapan besok?"

Rian mengalihkan perhatian kepada ayahnya yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Dia menjawab "Nggak lama lagi semua materinya selesai. Papa belum pulang? Nggak ditungguin sama Mama?"

Ayahnya melepaskan tawa kecil. Lelaki itu menjawab dengan nada bercanda, "Papa disuruh Mama nemenin kamu lembur. 'Jangan pulang sebelum Rian pulang' kata Mama."

Mau tidak mau Rian ikut tertawa menanggapi gurauan ayahnya. Lelaki itu berkata lagi, "Sudah baca laporan akhir tahun? Kondisi kita sedang sangat bagus. Sudah lama tidak sebagus saat ini."

Rian mengangguk setuju. Benar. Sudah sangat lama kondisi perusahaan mereka tidak sebaik ini. Bulan lalu, perusahaan mereka mengalami kemajuan yang eksponensial dan dia cukup bangga akan hal itu. "Yap. Kita bekerja keras untuk itu," komentarnya.

"Kamu yang sudah bekerja keras untuk itu, Yan." Ayahnya segera mengoreksi, yang ditanggapi Rian dengan senyum tipis.

Ayahnya menarik kursi, lalu duduk di hadapannya. Lelaki itu mengeluarkan sebungkus rokok dari balik jasnya. "Kalau kondisi terus meningkat seperti ini, Papa pikir kamu bisa sedikit lebih santai. Biarkan Vino dan Andrea terlibat lebih banyak. Mereka cukup kompeten, Yan." Ayahnya berkata sambil kemudian menyulut sebatang rokok.

"Akan aku pertimbangkan." Rian menjawab sekadarnya, hanya agar ayahnya tutup mulut dan tidak banyak bertanya.

Ayahnya mendesak lagi, "Pertimbangkan dengan baik. Kamu perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk mamamu. Juga untuk diri kamu sendiri." Kalimat terakhir diucapkan ayahnya dengan suara yang lebih dalam, penuh rasa prihatin, seolah-olah lelaki itu sedang mengasihaninya karena bekerja terlalu keras.

Dalam hati Rian tertawa getir, ikut mengasihani dirinya sendiri. Dia mejawab, "Akan aku usahakan, Pa." Tetapi dia juga tidak bersungguh-sungguh. Kata-katanya barusan cuma basa-basi. Walau begitu, dia melihat ayahnya tersenyum puas.


*****

Bittersweet Love (Complete)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora