Istri Kedua Ayahku

Start from the beginning
                                    

"Pulanglah ke rumah Miranda. Aku akan pergi untuk beberapa hari menenangkan hati dan pikiran. Aku belum bisa menerima semua ini."

Aku bergeser dan berpamitan dengan orang tua Miranda lalu berlalu pergi. Entah  kemana aku akan pergi. Yang jelas aku butuh waktu. Aku tidak akan memberitahukan masalah ini pada orang tuaku. Karena mereka sangat menyayangi Miranda. Mereka akan hancur ketika mengetahui bahwa Miranda berbuat sesuatu yang sangat buruk ini.

****

Aku menghentikan mobilku di sebuah taman. Yah, taman tempat aku melamar Miranda dulu. Mengenang kembali masa indah kami berdua. Namun hati ini kembali sakit.

"Miranda!! Kenapa? Kenapa Miranda?"

Aku berteriak di dalam mobil. Memukuli setir dan jendelanya.

"Miranda aku mencintaimu setulus hati. Kenapa kau membunuh cinta ini Miranda! Aaarrgghh!!"

Aku kembali melaju. Kini melaju dengan kecepatan tinggi. Dalam hatiku hanya ada kekecewaan. Aku ingin mengakhiri semuanya.
Laju mobil kian cepat. Tapi tiba-tiba aku mengingat Sabrina. Putri kecilku. Dia akan sangat terpukul jika mengetahui semua ini. Perlahan kukurangi kecepatan mobilku dan berhenti.

Kemana perginya cinta untuk Miranda? Kenapa Miranda seakan tak ada lagi di hatiku.

"Kau membunuh cintaku Miranda! Kau membunuhku Miranda!"

Kuputar mobilku dan menuju rumah yang ada di Vila. Aku butuh ketenangan saat ini.

***

Sesampainya di Vila aku langsung masuk ke kamar. Merebahkan diri ke atas tempat tidur. Mencoba menenangkan diri.
Kuraba saku celana dan mengambil gawai. Foto keluarga yang menjadi wallpaper itu menyakitkan hatiku lagi. Foto yang sangat bahagia itu kini menjadi kenangan.

Kulihat banyak sekali pesan dari nomor yang sama 'Miranda'.

'Mas kamu dimana?'

'Mas maafkan aku.'

'Mas kumohon beri kesempatan untukku.'

'Mas pulanglah.'

'Mas tolong balas.'

'Mas aku mencintaimu.'

Aku melemparkan gawai itu ke sofa setelah membaca pesan terakhir Miranda.
Cinta? Cinta seperti apa yang dia beri untukku? Jika dia cinta tidak mungkin bisa melakukan hal serendah itu.

"Cinta yang mana yang kau maksud Miranda!!"

Aku bangkit dan masuk ke kamar mandi. Mungkin pikiranku akan sedikit membaik. Kuisi bak mandi dengan air hangat dan masuk ke dalamnya. Merendam diri agar merasa baikan. Meredam emosi yang tak terkatakan ini.

Setelah selesai aku keluar dan berganti pakaian. Lalu gawaiku kembali berdering.

*Putriku Sayang*

Kutarik napasku dan duduk di balkon. "Wa'alaikum salam. Kenapa belum tidur Sayang?"

"Papa dimana?"

Apa yang harus kujawab? Aku tak pernah berbohong dengan keluargaku.

"Papa ..."

"Iya Sayang. Papa di Vila kita."

"Yaah kok Papa pergi sendiri?"

"Papa butuh waktu sebentar."

"Papa capek kerja yah?"

"Iya Sayang."

"Ya sudah besok kami  menyusul Papa ya ..."

"E-enggak usah Sayang. Papa ada kerjaan juga di sekitar sini."

"Yaaah ..."

Suara Sabrina terdengar kecewa. Seandainya aku bisa jujur. Dia pasti akan lebih kecewa lagi.

"Ya sudah. Papa jangan begadang, yah. Sabrina sayang Papa."

"Papa juga sayang Sabrina."

"Muuach ... muuach. Da-da. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Hati ini sungguh terluka. Aku tidak sanggup membayangkan nasib anak-anakku ke depannya.

***
Kulirik jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 04.26 WIB. Mataku tetap tak bisa terpejam.
Aku bangkit dan mengambil wudhu. Kemudian membentang sajadah dan sholat. Rasanya itu yang kubutuhkan. Berkeluh kesah kepada Pencipta-Ku.

***
"Ya Allah. Sungguh hamba adalah manusia penuh dosa dan kekurangan. Ya Allah hati ini sungguh sakit. Tolong berikan hamba petunjuk untuk semua ujian ini. Aamiin ..."

Setelah selesai rasanya mataku amat berat. Kembali kurebahkan tubuh ini ke atas tempat tidur. Dan tak lama aku pun terlelap.

****

Dreeet ... dreeet.

Gawaiku berdering berulang kali. Dengan mata yang masih tertutup kuraba meja mencari gawai itu.

*Leni*

Aah Leni sekertarisku. Kulihat jam ternyata sudah pukul 10.56 WIB.
Kepalaku rasanya berat. Kucoba duduk dan menjawab telepon itu.

"Iya Len kenapa?"

"Pak hari ini ada jadwal pertemuan dengan pihak Pak Surya."

"Iya Len. Tolong kamu tunda, yah. Saya nggak enak badan. Kepala saya sakit."

"Owh. Bapak sakit? Ya sudah baik Pak. Semoga segera sembuh."

Setelah telepon terputus aku mandi dan keluar mencari makanan. Perutku rasanya sudah keroncongan.

***

"Toloong ... tolooong!!"

Istri Kedua AyahkuWhere stories live. Discover now