"Wah udah datang ya," teriakan Deri memotong perkataan Kahale.

Kahale menatap pria yang baru saja menghampiri mereka dan menjabat tangannya. Setelah perkenalan singkat, mereka menuju ke ruang meeting untuk interview. Kahale mulai menceritakan tentang dirinya dan semua pengalaman bekerjanya. Pembawaannya masih seru dan asyik namun tetap rendah hati, sama seperti Asmara mengenalnya dulu.

Kahale Orion Wenas panggilannya Kahale atau Ale. Baru saja resign dari advertising agency di Malaysia, sekaligus animator freelance untuk rumah produksi kartun di sana sebulan lalu. Dia pulang ke Indonesia dan memutuskan untuk mencari pekerjaan di sini karena bosan merantau. Dia tertarik posisi Head of Creative Design di Mediteran karena jobdesk-nya hampir sama seperti pekerjaannya sebelumnya di Australia, sebelum ke Malaysia.

"Kenapa di Malaysia tidak cari offer yang berbanding lurus dengan di Aussie sebelumnya, jadi head atau manajer atau kepala divisi?" tanya HRD Mediteran.

"Karena saya masih mau ambil job freelance sebagai animator, Bu. Rasa-rasanya kalau jadi head divisi, pasti hectic nya cukup menyita waktu jadi kalau saya ambil job lain bakal terbengkalai juga. Animasi masih passion saya dan itu juga alasan saya ke Malaysia, karena ada peluang itu. Kalau di Indonesia, saya pure mau kembangin creative design saya, karena offer untuk animasi juga belum datang."

"Jadi, kalau ada offer animator kamu bakal hengkang dong dari sini?" Kali ini Deri bertanya.

"Tergantung offer-nya di sini dan offer animatornya, Pak. Ambil freelance ataupun main job pertimbangan saya banyak banget dan nggak segampang itu juga."

"Salary maksudnya?" tanya si HRD, Bu Sari.

Kahale tersenyum, "Bukan itu aja sih, Bu. Tapi juga kesempatan saya untuk bisa berkembang. Kesinambungan kerjanya juga. Banyak sih."

Kahale, kamu kebanyakan ngomong dan kelewat jujur. Kalau kamu jawab begini pasti HRD dan Deri mikir seribu kali hire kamu.

"Ini jawaban jujur banget sih. Kamu nggak takut diragukan ya?" goda Deri yang dibalas senyuman HRD.

"Saya udah kerja di banyak tempat, Pak. Saya memilih menunjukkan visi misi saya di awal, supaya perusahaan yang hire saya juga bisa tahu saya dengan baik dan bos saya juga bisa kasih kepercayaan buat saya. Soal kinerja, yah otomatis saya juga ada tuntutan."

Hebat kamu, Le. Kamu berhasil membuat kami gusar dengan kalimat kamu. Aku yakin, Deri jadi galau berat apalagi setelah kamu menunjukan tambahan portofolio kamu.

Interview ini berlangsung cukup lama, hingga jam kantor sudah selesai. Perbincangan sudah kemana-kemana dan kelewat asyik untuk Deri. Sedangkan Asmara memilih untuk berdiam dan sesekali saja tersenyum ke arah Deri. Mati-matian dia menghindari tatapan Kahale yang berkali-kali menatapnya lekat.

"Kamu kenapa sih, Ra? Nggak suka ya sama Ale?" tanya Deri.

Jam 7 malam dan interview baru saja berakhir. Setelah Kahale pamit, baru Deri mengajak Asmara keluar dari ruang meeting.

"Portofolio nya bagus sih, wawancaranya juga not bad. Tapi aku kurang sreg gitu sama dia," jawab Asmara mencari alasan.

"Kenapa emang? Kata dia tadi, kamu temen SMA-nya. Badung ya dia?"

Tadi entah kenapa, Kahale harus mengatakan jika terkejut melihat Asmara. Dengan semangatnya Kahale menceritakan bahwa mereka saling mengenal sejak SMA. Deri yang hobi menggodai Asmara pun berusaha mencari informasi mengenai kedekatan mereka.

"Enggak, Der. Bukan itu."

Deri menyipitkan matanya dengan curiga, "Mantan pacar ya?"

"Siapa? Kahale? Ngawur!" protes Asmara kencang.

"Terus kenapa dong?" Deri membuat langkah mereka terhenti.

"Ya gimana ya, nggak sreg aja. Lagian kan kamu cari partner buat aku, aku boleh dong nolak?"

"Aku bosnya, jangan lupa ya," ujar Deri sok galak sambil berjalan memasuki ruangannya.

Asmara buru-buru mengejarnya dan sudah siap mengomel lagi.

"Coba deh kamu pertimbangkan kemungkinan dia hengkang, kan bahay—"

"Semua ada kemungkinannya hengkang, Ra. Ya kan, Di? Siapa sangka juga, dedengkot-nya Mediteran ada yang resign?" tanya Deri kepada Adi yang barusan menyusul masuk ruangan dan mengambil duduk.

"Kenapa, Ra? Udah ketemu Ale? Nggak oke ya?" tanya Adi sambil menepuk kursi sebelahnya, menyuruh Asmara duduk.

"Iya. Mana alasannya nggak jelas pula," sambar Deri yang diikuti pkamutotan Asmara yang baru saja duduk.

"Emang kenapa? Ada apa?" Adi lebih tertarik lagi.

"Ya aku nggak sreg aja sama dia," nada Asmara sewot.

"Udah? Gitu doang? Hadeh," ejek Adi.

"Kasih aku alasan, basic on his CV, portofolio, dan interview tadi. Kalau kamu bisa ngasih alasan masuk akal, aku batalin deh hire dia," tegas Deri.

"Gimana interview-nya dia emang?" tanya Adi lagi.

"Bagus", "Biasa" jawab Deri dan Asmara berbarengan namun berbeda.

"Salary gimana?"

"Udah pengajuan. Aku sama HRD bakal nego. Seperti kata kamu, masih masuk akal kok." Deri menjawab sambil melirik Asmara yang sudah kesal.

Adi terkekeh melihat dua sahabatnya bersitegang seperti sekarang.

Tangannya menepuk pundak Asmara, "Dia mantanmu, Ra?"

"Tuh kan, aku juga curiga begitu. Mereka ternyata teman SMA lho, Di" timpal Deri yang membuat Asmara makin mkamutot.

"Masa sih? Wah beneran nih." Adi geleng-geleng kepala dengan yakin.

"Aku bukan mantannya Kahale! Jangan bikin dugaan ngawur," protes Asmara galak.

"Ya, trus?" Deri melipat tangannya menunggu.

"Apa hubungan kamu sama Kahale sampai-sampai kamu berkeras menolak dia? Well, dia rekomendasi yang unggul." Adi mengikuti gerakan Deri.

Asmara membuang napas kasar, "Dulu kami bersahabat, lalu dia tiba-tiba aja menjauh. Sekarang, tiba-tiba dia muncul di sini dan kemungkinan besar akan direkrut menjadi partner-ku. Apa salah kalau aku merasa awkward?."

Deri dan Adi terdiam sesaat dan saling menatap. Sekilas Asmara menangkap tatapan mereka dan yakin bahwa dirinya pasti dinilai kekanak-kanakkan. Yah, tidak salah juga menganggapnya begitu sih karena itu sudah cerita jaman SMA. Meskipun demikian, Asmara memutuskan jujur dengan perasaan canggungnya ketika bertemu dengan Kahale kembali. Lagipula, bayangan menjadi partner yang bisa dipastikan akan menghabiskan banyak waktu bersama memang tak nyaman untuk Asmara. Sebaiknya Deri — terutama dia — mengetahui hal itu.

"Penyebabnya nggak tahu apa?" tanya Deri. Asmara menggeleng.

"Kalau gitu, kita telepon aja. Pastikan. Daripada penasaran."

Ide Adi ditanggapi tinjuan di lengannya oleh Asmara.

"Tapi sorry Ra, aku nggak bisa menerima alasan kamu. Aku bakal offering dia."

Asmara melipat tangannya kesal mendengar kata-kata Deri.

"Tuh kan, Deri keluar bossy-nya" goda Adi diikuti tawa.

"Lagian itu masalah jaman SMA. Tadi aja dia kayak seneng ketemu kamu. Mungkin ini jalannya kalian bisa berteman lagi kan?" ujar Deri.

"Terserah deh," ujar Asmara sembari berdiri meninggalkan ruangan Deri.

"Yah gondok dia."

**

Mengejar Asmara [PINDAH PLATFORM]Where stories live. Discover now