X. Pasangan

2.1K 128 98
                                    

Ahsan mengerang. Berat sekali Markis rupanya. Ia sedang membantu Markis yang hari ini habis ditabrak mak-mak pakai matic di jalan. Markis sebenarnya mau melaporkan ini pada pihak berwajib, lalu mengunggah curhatannya di media sosial, biar viral sekalian. Tapi sayang, cerita malin kundang yang sering diceritakan ibunya menjelang tidur masih ada bekasnya. Takut kualat, mak.

"San, naik ke atas ya?"

Anjirlah. Kurus pasti Ahsan habis ini.

Tapi Ahsan bisa apa. Belum bayar duit kost dua bulan dia mah. Dengan sigap ia membantu Markis menaiki tangga. Sumpah dah, berat banget.

"Ibu kemana kak?" tanya Ahsan basa-basi.

"Katanya lagi ke rumah Bude, balik sore. Berat ya, San."

Ya beratlah, badak jawa! Maunya Ahsan ngomong begitu, pakai capslock sekalian kalau perlu. Tapi dia ga berani, takut ditagihin hutang. "Iya bang, berat."

"Ini bukan lemak atau daging atau otot, San. Ini dosa gue yang berat."

Iyain aja Ahsan mah. Ga salah juga memang.

Ketika sampai di kamar Markis, Ahsan menendang pintunya dengan kasar. Alhasil njeplak sedikit, lalu membal dan kena mukanya Markis, karena Ahsan sudah lebih dulu memundurkan wajahnya. Tidak apa-apalah, biar tambah ganteng.

"Kalau dendam tuh ngomong, San."

"Kalau gue ngomong udah pasti ditabok sama kak Markis."

"Anjing." gerutu Markis.

Namun belum usai panas dan merona di wajahnya akibat mencium pintu, tubuh Markis sudah dibanting tak manusiawi oleh Ahsan ke kasur. Bukan, ini bukan adegan 18++.

Kalau dipikir-iya Markis bisa mikir- salah apa ya Tuhan, bang Markis ini. Dosa memang banyak, tapi banyakan Bonalah. Apakah kutukan Pia itu manjur apa adanya? Karena memang hanya Pia yang sering nyumpahin aneh-aneh.

"Ya ampun, San, nyesel gue minta jemput lo." tangis sok tragis Markis. Dia kini berguling-guling di ranjang.

Kalau bukan yang punya kost, sudah Ahsan tendang itu muka. Markis itu sebenarnya hanya terkilir. Kakinya bengkak-meski semua tubuhnya bengkak- dan sulit berjalan. Bukan tidak bisa sama sekali. Lagipula sudah dibawa ke rumah sakit. Dasarnya saja Markis yang berlebihan.

"Nasi padangnya udah gue pesenin pake ojol, kak." kata Ahsan sembari membuka jendela kamar kak Markis. Bau pengap ditambah bau keringat Markis memang tidak tertahankan. "Tinggal tunggu Bona sama ibu aja, air putih udah di meja, istirahat aja kak."

"Makasih, istriku sayang."

Untung Ahsan belum kelepasan melemparinya dengan tanaman kaktus di dekat jendela.

"San, gue lagi kepikiran nih." kata Markis. Ia kini merenung, terdiam menatap langit-langit kamarnya yang berhias Haruka JKT48.

"Lah, bisa mikir, kak?" -satu bantal sudah melayang ke wajah Ahsan.

"Gue cedera gini yang gue pikirin bukan gue, malahan Hendra." lanjut Markis.

Ahsan mengernyit. "Apa hubungannya?"

"Gue cemas sama Hendra." ujar Markis sembari menghela napasnya. "Gue sama dia ada persiapan kejurnas." lanjutnya.

Benar juga. Sejak beberapa minggu ini Hendra disibukkan dengan latihan intens badminton. Dan tentu saja ia berpasangan dengan Markis Kido.

"Hendra selalu ngomong kalo prioritasnya di pendidikan, ga pernah mau gue ajak serius di badminton, tapi ini untuk pertama kalinya ini dia ngajak main di kejurnas, gue ga bakal bisa nemenin."

SplashWhere stories live. Discover now