IV. Bulu Tangkis

1.5K 152 91
                                    

"Banyak sih, Kevin anak manajemen bisnis aja ikut."

Ahsan mencibir diam-diam. Yang sudah ia usahakan sepelan mungkin. Namun sepertinya Bona mendengarnya. Adik Markis Kido itu mendengus lalu meletakkan sendoknya yang sudah penuh dengan nasi soto. Ia lalu melipat tangan di atas meja dan menatap Ahsan layaknya ingin berbicara serius.

"Kenapa ga dicoba San?" tanya Bona seserius membahas rencana pengambil alihan nuklir Korea Utara.

Ahsan hanya menggeleng sebagai jawaban. Ia lalu menyuap sotonya dengan acuh. Bona menghela napasnya, Ahsan dengar kok.

"Lu demen bulu tangkis sejak kecil, San. Ini hal yang bagus, lagipula ada gue, ada Alvent juga kalau masih butuh teman." ucap Bona selembut mungkin.

Sebenarnya Ahsan terlalu malas membicarakan ini. Sudah puluhan kali Bona mengajaknya, memaksanya, bahkan menyeretnya untuk bermain bulu tangkis kembali. Ia pernah mencintai setulus hati olahraga ini. Namun kini, seolah apa yang ada dalam bulu tangkis hanya memuakkannya, membuatnya ingin lupa.

"Kalau memang hanya karena Rian, aku ingatkan, dia hanya masa lalu dan sebuah kebrengsekan."

Ahsan memutar matanya muak. Mengapa semua selalu menyalahkan Rian?

"Semuanya aja ke Rian, dia memang sumber kejelekkan dunia, tapi sekali lagi, bukan karena dia." sanggah Ahsan setenang mungkin. Sudah puluhan purnama, untuk apa ia harus kelimpungan karena Rian lagi.

"Serahlah, San." sahut Bona telak. Ia kini telah kembali hikmat dengan soto bu Nani yang sudah sedikit dingin.

.
.
.

Entah bagaimana Ahsan kini bisa duduk diam dengan helm sudah melekat di kepalanya dan menyesap pelan permen kopinya. Ia memainkan ponselnya, mengecek sedikit beberapa percakapan tak bergunanya dengan Bona, Alvent, dan Taufik. Mereka sedang membahas gebetan Taufik yang sebelas dua belas sama pemimpin Yakuza.

Hari ini, terhitung sudah hari ke-12 ia pulang dan berangkat bersama Hendra Setiawan. Cukup banyak kemajuan di antara mereka sebenarnya. Di sekitar hari ke-4 Ahsan sudah mulai menjadi objek yang dibonceng. Kakak tingkatnya itu sudah tak lagi kaku seperti awal mereka pulang bersama. Namun masih saja, tak ada obrolan berarti di antara keduanya.

Dan di hari ke-10 barulah Hendra memulai percakapan. Topik pertama mereka adalah bulu tangkis. Sungguh tanpa tedeng aling-aling.

"Kamu tidak ingin mencoba bulu tangkis lagi, San? Saya tahu kamu cukup hebat saat di SMA." kata Hendra kala itu.

Dan untuk pertama kalinya, Ahsan diam seribu bahasa. Jika ia biasanya yang akan bercerita ribuan kalimat yang walau hanya ditanggapi dengan ya, heem, dan tidak oleh Hendra adalah Ahsan, kini ia hanya terdiam. Meninggalkan keheningan diantara mereka.

Ahsan terlonjak ketika seseorang mengetuk helmnya dan tiba-tiba saja wajah orang itu sudah hanya beberapa centi di depan wajahnya. Hendra tersenyum padanya.

Untuk pertama kali(lagi) dalam hidup Ahsan, ia akan menuruti Bona yang menyuruhnya cek kesehatan jantung.

"Melamun sesuatu?" tanya Hendra kalem. Ia kini sudah berdiri dan tak lagi sedekat itu dengan Ahsan.

Ahsan mengerjap mencoba menetralkan adrenalinnya. Namun di lain sisi, Hendra Setiawan sudah tertawa-tawa kecil. Eh? Si muka rata ini bisa tertawa serenyah ini.

"Kak Hendra udah pulang? Katanya kak Markis, kakak ada kelas sampai sore."

Hendra hanya tersenyum. Kalau saat ini, Ahsan sudah tidak kaget. Percayalah, saat pertama kali Ahsan melihat senyum Hendra-hanya karena ia berterima kasih sudah mengantarnya beberapa hari- ia heboh luar biasa. Serasa langit gonjang ganjing dan Ahsan mendadak terkena insomnia akut hingga pagi.

SplashWhere stories live. Discover now